This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 November 2013

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

Pengertian Tata Hukum, yaitu menyusun dengan baik dan Tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.

Sistem Hukum
Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lain, tersusun dengan suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.
Hukum Sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.

A. RUANG LINGKUP PHI (Tata Hukum Indonesia)
Tata Hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat Hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Lahirnya Tata Hukum di Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dibentuklah tata hukumnya itu dinyatakan dalam :
1.Proklamasi Kemerdekaan : “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”,
2.Pembukaan UUD-1945: “ Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Undang-undang dasar Negara Indonesia…”

Pernyataan itu mengandung arti :
1.Menjadikan Indonesia sauatu Negara yang merdeka dan berdaulat
2.Pada saat itu menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian tertulis. D

Didalam Undang-undang dasar Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang tertulis). Undang-undang hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar merupakan rangka dari tata hukum Indonesia

Tata Hukum di Indonesia meliputi :

1. Sistem Hukum
Macam-macam Sistem Hukum
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental.
b. Sistem Hukum Anglo Saxon
c. Sistem Hukum Adat

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum Tata Negara di Indonesia :
1.Hukum perdata Indonesia
2.Hukum Pidana Indonesia
3.Hukum Tata Negara Indonesia
4.Hukum Dagang
5.Hukum Agraria
6.Hukum Pajak
7.Hukum Acara Pengadilan
8.Hukum Administrasi Negara
9.Hukum Adat
10.Hukum Islam.

Klasifikasi hukum
1.Berdasarkan sifatnya
Drs E. Utrecht, SH. Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Indonesia” (1953) telah membuat suatu batasan, Utrecht memberikan batasan Hukum sebagai Berikut: “Hukum itu adalah himpunan peratura-peraturan (perintah-Perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena harus ditaati oleh masyarakat. Itu. Akan tetapi tidaklah semua orang mau mentaati kaedah-kaedah hukum itu, maka peraturan kemasyarakatan itu harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.

2.Berdasarkan fungsinya.
Fungsi Hukum ialah untuk mengatur, sebagai petugas, serta sebagai sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban. Yang akan diatur oleh Hukum ialah peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, adanya sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas, bersifat memaksa, dan peraturan hukum diadakan oleh badan-badan resmi. Hukum yang diciptakan penguasa memiliki tiga tujuan yang hendak dicapai. Untuk menjelaskan tujuan ini ada 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang tujuan hukum, Teori Etis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, Teori Utilitas tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan manusia Teori campuran, tujuan hukum untuk mencapai ketertiban (yang utama) dan keadilan yang berbeda-beda isinya dan ukurannya menurut masyarakat dan zaman. Sedangkan tujuan Hukum Negara Republik Indonesia Menurut Hukum Positif tertuang dalam alinea keempat UUD Negara RI 1945 “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” tujuan Hukum sebagaimana disebutkan diatas intinya adalah menghendaki adanya keseimbangan, kepentingan, keadilan,ketertiban,ketentraman dan kebahagiaan setiap insan manusia, maka dari situ dapat diketahui apa sebenarnya fungsi dari hukum itu sendiri.
Secara umum fungsi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yaitu :
1.Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
2.Sarana mewujudkan keadilan sosial.
3.Alat penggerak pembangunan nasional.
4.Alat kritik.
5.Sarana penyelesaian sengketa atau perselisihan.

3.Berdasarkan isinya.
Hukum berdasarkan isinya adanya hukum Privat dan hukum publik. Pengertian dari masing-masing tersebut ialah, Hukum Privat, ialah Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Hukum privat ialah termasuk Hukum Pribadi, Hukum Keluarga, Hukum Kekayaan dan Hukum Waris, Contohnya seperti seseorng melakukan Perjanjian jual beli. Sedangkan Hukum Publik ialah bidang hukum dimana subyek hukum bersangkutan dengan subyek hukum lainnya, yang dimaksud ialah jika seseorang melanggar atau melakukan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam denga hukuman. Hukum publik ialah termasuk Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana.

4.Berdasarkan Waktu Berlakunya.
Hukum berdasarkan Waktu Berlakunya berdasarkan Hukum Positif atau Tata-Hukum dengan nama asing disebut ius constitutum sebagai lawan kata dari pada ius constituendu. Yakni perbuatan hukum yang berdampak positif bagi masyarakat, seperti seseorang memliki keinginan untuk mencuri atau merampok, tetapi seseorang tersebut tidak jadi mencuri atau merampok karena mengetahui adanya hukuman atau sanksi bagi yang melakukan perbuatan tersebut. Berikut sebaliknya ius constituendum yakni Hukum Negatif ialah seseorang tersebut telah mengerti adanya hukuman atau sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan tersebut tetapi seseorang tersebut seakan tak mempedulikan hal tersebut, seperti Korupsi. Serta Hukum Antar Waktu yakni Hukum Yang mengatur suatu peristiwa yang menyangkut hkm yang berlaku pada masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang.

5.Berdasarkan Wujudnya/Bentuknya.
Menurut bentuknya, Hukum itu dapat dibedakan antara:
1.Hukum Tertulis (Statute Law = Written Law), Yakni Hukum yang dicantumkan dalam
berbagai peraturan-perundangan satu negara, Contohnya:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Peraturan Pemerintah.
3. Peraturan Presiden.
4. Peraturan Daerah.

Mengenai Hukum tertulis, ada yang telah dikondifikasikan, dan yang belum
dikondifilasikan . KONDIFIKASI ialah pembukaan jenis-jenis hukum tertentu dalam
kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Unsur Kondifikasi ialah, Jenis Hukum tertentu (misalnya hukum perdata), sistematis, lengkap. Tujuan Kondifikasi dari hukum tertulis ialah untuk memperoleh Kepastian hukum, penyederhanaan hukum, kesatuan hukum. Berikut ialah contoh hukum yang sudah dikondifikasikan:
1)Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848).
2)Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848).
3)Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).

1.Hukum Tak Tertulis (unstatutery Law = unwritten Law), Yakni Hukum yang
masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya
ditaati seperti suatu peraturan perundangan (disebut juga hukum kebiasaan),
disebut Hukum Adat (Adat Law).

Perhatian dari luar terhadap hukum adat, Bangsa indonesia tidak lepas dari kontak dengan bengsa-bangsa lain. Istilah “Hukum Adat” adalah terjemahan dari perkataan Belanda “adatrecht”, istilah “adatrecht” ini ialah untuk pertama kali dipakai jadi merupakaniptaan, Snouck Hurgronje. Kemudian dipakai oleh pengarang-pengarang lain-lain. Tetapi kesemuanya ini memakainya masih secara sambil lalu dan hanya untuk hukum Indonesia asli, terlepas dan akibat pengaruh-pengaruh dari luar, seperti pengaruh agama.

6.Berdasarkan waktu berlakunya.
1)Hukum Nasional, Yaitu Hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, misalnya Hukum Nasional Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menempatkan UUD 1945 sebagai hukum positif tertinggi.
2)Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum
yang terjadi dalam, pergaulan internasional.
3)Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku dinegara lain, misalnya bagi bangsa Indonesia adalah hukum yang berlaku di Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dsb.
4)Hukum Gereja, adalah hukum yang ditetapkan oleh gereja dan diperlakukan terhadap para jamaahnya.

7.Berdasarkan Daya Kerjanya.
- Hukum yang bersifat mengatur atau fakultatif atau subsidiair atau perlengkapan dispositif, yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak.
- Hukum yang bersifat memaksa atau imperatif (dwingendrecht),yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak, yang berarti kaedah hukumnya bersifat mengikat dan memaksa, tidak memberi wewenang lain, selain apa yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Biasanya hukum yang mengatur kepentingan umum bersifat memaksa, sedangkan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan atau epentingan khusus bersifat mengatur. Persoalanya bagaimana caranya untuk mengetahui, apakah suatu peraturan hukum itu bersifat memaksa atau bersifat mengatur?
Dalam hal ini ada 3 (tiga) pedoman, yaitu:
-Berdasarkan Pasal 23 AB, yang menentukan bahwa suatu perbuatan atau perjanjian tidak dapat meniadakan kekuatan undang-undang yang berhubungan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ketertiban umum kesusilaan itu bersifat memaksa.
-Dengan membaca darri bunyi peraturan hukum yang bersangkutan, dapat diketahui bahwa suatu peraturan hukum bersifat memaksa atau tidak. Contoh: Pasal 1447 KUH Perdata yang menentukan bahwa penyerahan harus dilakukan ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah diadakan persetujuan lai.
-Dengan jalan interprestasi dapat diketahui bahwa peraturan hukum tersebut bersifat memaksa atau tidak. Contoh: pasal 1368 KUH Perdata yang menentukan bahwa pemilik seekor binatang, atau siapa yang memakainya, adalah selama binatang itu dipakainya bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada dibawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.

2.Sejarah Hukum Indonesia.
Ada beberapa periode sejarahberkembangnya Hukum diindonesia, Yakni:
1.Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal

Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1.Periode VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

2.Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

3.Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; Unifikasi kejaksaan; Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; Pembentukan lembaga pendidikan hukum; Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

3.TERBENTUKNYA HUKUM

A) pandangan legisme ( akhir abad 19) :
- hukum terbentuk oleh perundang-undangan
- hakim secara mekanis merupakan terompet undang-undang
- kebiasaan berlaku bila ada pengaruh
- meinitik beratkan pada kepastian hukum

B) pandangan freirechtlehre ( -20) :
- hukum terbentuk oleh peradilan
- undang-undang dan kebiasaan hanya sarana pembantu hakim menemukan hukum pada kasus konkrit
- titik beratnya : social doelmatighe

Pandangan modern terbentuknya hukum :
1. hukum terbentuk dengan berbagai macam cara
2. hukum oleh pembentuk UU dan hakim menerapkan UU
3. penerapan UU tidak dapat mekanis tapi perlu penafsiran
4. UU tidak sempurna sehingga penafsiran dan kekosongan hukum adalah tugas hakim melalui peradilan
5. hukum terbentuk tidak hanya karena pembentukan UU dan peradilan tetapi pergaulan social juga dapat membentuk hokum
6. peradilan kasasi berfungsi untuk memelihara kesatuan hukum dan pembentukannya

7. Sumber Hukum dan Tertib Hukum.
1.Adapun yang dimaksud dengan Sumber Hukum ialah: Segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
2.Sumber Hukum itu dapat ditiinjau dari segi Material dan segi Formal:
3.Sumber-sumber Hukum dari segi material, dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
Contohnya:
1.Seorang ahli ekonomi akan mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2.Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

2.Sumber-Sumber Hukum Formalantara lain:
1.Undang-undang (statute).
2.Kebiasaan (costum).
3.Keputusan-keputusan Hakim (jurisprudensi).
4.Traktat (treaty).
5.Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).

a.Undang-Undang.
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dipelihara oleh penguasa negara, undang-undang juga peraturan Hukum tertinggi dinegara.
Menurut Buys, undang-undang memiliki dua arti, yakni:
1. Undang-undang dalam arti formal: setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang kerena cara pembuatanya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan Parlemen).
2. Undang-undang dalam arti material: setiap keputusan Pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
1) Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang:
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris Negara (dahulu: Menteri Kehakiman). Tanggal berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itunmulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam L.N untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah lain-lainnya beru berlaku 100 hari setelah perundangan dalam L.N. setelah syarat tersebut dipenuhi, maka “SETIAP ORANG DIANGGAP TELAH MENGETAHUI ADANYA SESUATU UNDANG-UNGANG”. Hal ini berarti jika ada seseorang yang melanggar Undang-undang tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan apapun.
2)Berakhirnya Kekuatan berlaku undang-undang
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika:
a)Jangka waktu berlaku yang telah ditentukan oleh undang-undang itu sudah lampau.
b)Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak lagi ada.
c)Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
d)Telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yand dulu berlaku.

Yang dimaksud dengan Lembaran Negara itu ialah suatu lembaran (sertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku. Misalnya:
1)L.N. tahun 1962 No. 1 (L.N. 1962/1).
2)L.N. tahun 1962 No. 2 (L.N. No. 2 tahun 1962).

Contoh:
1)L.N. 1950 No. 56 isinya: undang-undang dasar sementara (1950).
2)L.N. No. 37 isinya: Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1959 tentang peraturan ujian Universitas bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta.
3)L.N. 1961 No. 302 isinya: undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Peguruan Tinggi.
Sedangkan yang dimaksud dengan Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi Departemen Kehakiman (Sekertaris Negara) yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan negara dan pemerintah da memuat surat-surat yang dianggap perlu seperti: akta pendirian PT, Firma, Koperasi, dan lain-lain.

b.Kebiasaan (costum).
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran Hukum, maka demikian timbulah kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Contohnya: apabila seorang Komisioner sekali menerima 10% dari hasil atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang-ulang dan komisioner yang lainpun juga menerima upah yang sama yaitu 10% maka dari itu lambat laun kebiasaan (usance) berkembang menjadi Hukum Kebiasaan.

c.Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).
Pendapat para Sarjana Hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh Hakim. Dalam Jurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa Sarjana Hukum yang terkenal dalam Ilmu Pengetahuan Hukum. Hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikan. Terutama dalam hubungan internasional pendapat-pendapat para Sarjana Hukum berpengaruh yang besar. Bagi Hukum Internasional pendapat para Sarjana Hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.Mahkamah Internasional dalamPiagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutuskan suatu perselisihan dapat dipergunakan beberapa pedoman yang antara lain:
a)Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions).
b)Kebiasaan-kebiasaan Internasional (International Costums).
c)Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recorgnised by civilised nations).
d)Keputusan hakim, (Judical decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum.

C. Struktur peraturan perundangan.
Sebelum membahas tentang struktur peraturan perundangan, istilah peraturan Peundang-undangan (wettelijke regeling), dalam khazanah keperpustakaan hukum, khususnya Eropa Kontinental, peraturan perundang-undangan (wet in meteriele zin, gesetz in materiellen sinne), dijabarkan lagi kedalam tiga unsur utama, yakni meliputi:
(a)Norma Hukum (rechtsnormen).
(b)Berlaku ke luar (naar buitenwerken).
(c)Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin).

Dengan unsur demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti luas.
Dijelaskan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundag-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh leembaga pejabat negara yang mempunyai fungsi Legeslatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Unsur-unsur yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan adalah:
1.Peraturan Perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschreven, written law).
2.Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan Organ), yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku umum atau mengikat umum (algemeen).
3.Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan mengikat oleh semua orang,mengikat umum hanya menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku pada peristiwa konkret atau individu tertentu. Lebih tepatnya disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat umum.

1)Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Berdasarkan atau sumber pada undang-undang dasar sementara 1950 dan konstitusi RIS-1949. Peraturan-peraturan di Indonesia terdiri dari:
1.Undang-undang Dasar (UUD).
2.Undang-undang (biasa) dan Undang-undang Darurat.
3.Peraturan Pemerintah tingkat Pusat.
4.Peraturan Pemerintah tingkat Daerah.

1)UUD ialah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan memuat garis-garis besar dan tujuan negara.
Suatu Uud mempunyai rangka seperti berikut:
1.Mukadimah atau Pembukaan atau Preamblue.
2.Bab-bab yang terbagi atas bagian-bagian.
3.Bagian terdiri atas pasa-pasal.
4.Pasal terdiri dari ayat-ayat.

Rangka Undang-Undang Dasar 1945:
(1) Pembukaan: 4 alinea.
(2) Isi UUD-1945:
a)16 Bab.
b)37 pasal.
c)4 pasal Aturan Peralihan.
d)2 ayat Aturan Tambahan.
(3) Penjelasan UUD-1945.
UUD biasanya juga disebut Konstitusi, akan tetapi sebenarnya Konstitusi tak sama dengan UUD. UUD itu merupakan Hukum Negara yang tertulis sedangkan Konstitusi tidak saja meliputi peraturan tertulis, tetapi juga mencakup peraturan hukum yang tidak tertulis (Conventions). Jadi makna Konstitusi lebih luas dari pada UUD.

2)Undang-Undang (biasa) ialah peraturan negara yang diadakan untuk menyelenggarakan pemerintahan pada umumnya yang dibentuk berdasarkan dan untuk melaksanakan UUD. Menurut UUD pasal 89 UU dibentuk oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Suatu undang-undang terdiri atas:
a.Konsiderans : yakni alasan-alasam yang menyebabkan dibentuknya suatu undang-undang. Dinyatakan dengan kata-kata Menimbang; mengingat;
b.Diktum : keputusan yang diambil oleh pembuat UU, setelah disebutkan alasan pembentukannya. Diiktum dinyatakan dengan kata-kata: Memutuskan: Menetaplan
c.Isi : isi UU itu terdiri dari: Bab-bab, Bagian, Pasal, Ayat-ayat.
Undang-undang Darurat ialah UU yang dibuat oleh Pemerintah sendiri atas kekuasaan dan tanggungjawab Pemerintah yang karena KEADAAN YANG MENDESAK perlu diatur dengan segera.

UUD Darurat dikeluarkan dengan bentuk dan keterangan-keterangan seperti UU biasa dengan perbedaan:
(1) Dalam menimbang harus diterangkan bahwa karena keadaan yang mendesak peraturan ini perlu segera diadakan.
(2) Kalimat “dengan persetujuan DPR” dihilangkan. UUD Darurat dapat kemudian disahkan oleh presiden dengan persetujuan DPR menjadi UUD biasa. UUD Darurat juga memiliki derajat yang sama denga undang-undang biasa.
(3) Peraturan Pemerintah (pusat) adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk melaksanakan suatu UU. Peraturan Pemerintah dibuat semata-mata oleh Pemerintah tanpa kerja sama dengan DPR. Peraturan Pemerintah dikeluarkan yang seperti UU Darurat dengan perbedaan menghilangkan kalimat “bahwa keadaan mendesak....” dihilangkan.
(4) Peraturan daerah ialah semua peraturan yang dibuat oleh Pemerintah setempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya. Berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1948 dikenal.
(a) Peraturan Propinsi.
(b) Peraturan Kotapraja.
(c) Peraturan Kabupaten.
(d) Peraturan Desa.

Sekarang ini berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1974 dikenal:
(1) Peraturan Daerah Tingkat I.
(2) Peraturan Daerah Tingkat II.

Masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (sekarang).
1) Bentuk dan Tata urutan peraturan perundangan
Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan, Pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan yang disebut peraturan perundangan. Dengan demikian peraturan perundangan Republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Bentuk-bentuk dan Tata urutan peraturan perundangan menurut ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (kemudian dikuatkan oleh ketetapan MPR No. V/MPR/1973) ialah berikut:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945).
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ketetapan MPR).
c) Undang-Undang (UU) dan peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU).
d) Peraturan Pemerintah (PP).
e) Keputusan Presiden (KEPPRES).
f) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.

Tata urutan yang hierarki diatas tidak dapat diubah dan dipertukarkan tingkat kedudukannya, dari peraturan yang tertinggi dan rendahnya. Karena dalam penyusunan tersebut menunjukan tinggi rendahnya tingkat kedudukan peraturan negara tersebut.peraturan yang lebih rendah tingkat kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, misalkan: Undan-Undang tidak boleh bertentangan isinya dengan ketetapan MPR, peraturan Pemerintah dengan UU, dan sebagainya.

a) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada peraturan perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar tertulis, sedangkan disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yag tidak tertulis, yang merupakan sumber hukum lain, misalnya kebiasaan-kebiasaan, traktat-traktat (perjanjian-perjanjian), dan sebagainya.

b) Ketetapan MPR.
Mengenai ketetapan MPR ada dua macam:

a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatip dilaksanakan dengan Undang-Undang.

b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

c) Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU)
PERPU diatur dalam UUD-1945 pasal 22 sebagai berikut:
(a) Dalam hak-ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(b)Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan.
(c) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR; oleh karena itulah PERPU dalam pasal 22 UUD 1945 yang sama kekuatannya dengan Undang-Undang harus disahkan pula oleh DPR. Ketentuan UUD 1945 tersebut sebenarnya memberikan suatu kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, oleh karena itu PERPU yang ditetapkan sendiri oleh Presiden mempunyai derajat/kekuatan berlaku yang sama dengan suatu Undang-Undang.
Presiden dengan menjalankan mengeluarkan PERPU yang dibuat sendiri dapat merubah atau menarik kembali suatu Undang-Undang biasa yang ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR.
Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
Pasal 5 ayat 2 UUD 1945, di samping kekuasaan membentuk PERPU, UUD 1945 memberikan lagi kekuasaan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Selain peraturan Pemerintah (pusat), dikenal pula Peraturan Pemerintah Daerah Seperti misalnya Peraturan-Peraturan Daerah Tingkat I, dan Daerah Tinggak II. Peraturan Pemerintah (pusat) memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-Undang, sedangkan Peraturan Pemerintah daerah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah isinya tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat, dan jika bertentangan maka peraturan Pemerintah yang bersangkutan dengan sendirinya Batal (tidak berlaku).

4. Asas-asas dalam peraturan perundangan.
Menurut Van der Vilies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemeen beginselen van behoorlijke regelgeving), dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni asas formal (formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginselen).
Asas formal meliputi,
1) Asas tujuan yang jelas.
2) Asas organ /lembaga yang tepat.
3) Asas perlunya pengaturan.
4) Asas dapat dilaksanakan.
5) Asas Konsensus.
Asas Materil meliputi,
1) Asas Terminologi dan sistematika yang jelas.
2) Asas dapat dikenali.
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum.
4) Asas kepastian hukum.
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, mencoba memperkenalkan beberapa asas-asas dalam perundang-undangan, yakni:
1) Undang-undang tidak boleh berlaku surut.
2) Undang-Undang yang dimuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum ( lex spesialis derogat lex generali).
4) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori).
5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6) Undang-undang sebagai sarana unuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).

Untuk pemahaman yang lebih baik, harus diperhatikan, bahwa dalam asas ini sebagaian besar diarahkan pada kecenderungan masyarakatnya, situasi politik, dan pemerintahan yang ada.
Asas-asas tujuan yang jelas darus memuat tujuan umum daran kerangka aturan yang terlihat jelas. Disamping itu juga harus ada yang bersifat khusus. Hal itu berkaitan dengan bantuan khusus dari peraturan untuk mencapai tujuan umum.
Montesquie dalam bukunya L’ Esprit des lois menjelaskan bahwa, dalam pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, antara lain:
1) Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple) kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorika hanya tambahan yang membingungkan.
2) Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan relatif, dengan maksud meminimalisasi kesepakatan untuk perbedaan pendapat dari individu.
3) Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang rill dan aktual, menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik.
4) Hukum hendaknya, tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang, bahkan hukum bukan latihan logoka, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata.
5) Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan.
6) Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/dapat diperdebatkan; adalah bahaya merinci alasan-alasan hukum karena hal itu akan lebih menumbuhkan pertentangan-pertentangan.
7) Lebih daripada semua tiu, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak mengoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan,dan hakekat permasalahan; sebab hukum yang lemah, tidak perlu, dan tidak adil hanya akan membawa seluruh sistem perundang-undangan kepada image yang buruk dan menggoyahkan kewajiban negara.

5. Sistem Hukum Indonesia.
a. Pengertian sistem Hukum.
Berbicara mengenai Sistem Hukum, dalam suatu sistem terdapat ciri-ciri tertentu, yakni terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi. Dan kaitannya dengan hukum, maka Prof. Subekti,S.H. berpendapat bahwa: “sistem hukum adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”.
Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup. Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum Positif.
b. Ciri-ciri sistem Hukum Indonesia.
Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21)
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
c. Unsur-unsur dalam Sistem Hukum Indonesia.
1) Sistem Hukum Islam.
Sistem hukum ini mula-mula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebrangan agama Islam. Kemudian berkembang kenegara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara Individual atau kelompok.
Sistem Hukum Islam bersumber Hukum kepada:
1) Al-Quran, yaitu Kitab suci kaum muslim yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Rasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril.
2) Sunnah Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadist) mengenai Nabi Muhammad.
3) Ijma, ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi).
4) Qiyas, ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metode Ilmu Hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari segi hukum lama dengan maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada didalamnya.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban serta keselamatan umat manusia.
Berdasarkan sumber-sumber hukumnya, sistem hukum islam dalam “Hukuum Fikih” terdiri dari dua hukum pokok, yakni:
1) Hukum Rohaniah, lazim disebut “Ibadat”, yaitu cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian kepada Allah, seperti Shalat, Puasa, Zakat, Dan menjalankan Haji.
2) Hukum Duniawi, terdiri dari:
a) Muamalat, yakni tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam bidang jual beli, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b) Nikah, yakni perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan Monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
c) Jinayat, yakni hukum pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
Sistem Hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran Agama Islam dengan keimanan lahir secara individual.

2). Sistem Hukum Adat.
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain. Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “adatrecht” yang untuk pertama kali oleh Snouck Hurgronje, Pengertian Hukum Adat yang digunakan oleh Mr. C. Van Vollenhoven (1928) mengandung makna bahwa Hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum Adat dan Adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat Hukumnya. Kata “Hukum” dalam pengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhanya oleh berbagai golongan tertentu dalam ilmu lingkungan kehidupan sosialnya.

Sistem Hukum Adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan Hukum Adat itu mempunyai tipe yang bersifat Tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenekk moyang.utuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang.
Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu, maka Hukum Adat dapat memperlihatkan kesanggupanya untuk menyesuaikan diri dan elastik. Misalnya, kalau seorang dari Minangkabau datang ke daerah Sunda dengan membawa ikatan-ikatan tradisinya, maka secara cepat ia menyesuaikan dengan daerah tradisi yang didatangi. Keadaan ini berbeda dengan hukum yang peraturan-peraturanya ditulis dan dikondifikasikan dalam sebuah kitab Undang-undang atau peraturan perundangan lainnya yang sulit dapat diubah secara cepat untuk penyesuaian dalam situasi sosial tertentu.
Berdasarkan sumber hukum dan tipe Hukum Adat itu, maka dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia.

Sistem Hukum Adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Hukum Adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat), mengatur tentang susunan dari ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeneschappen) serta dalam susunan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan pejabatnya.

2) Hukum Adat mengenai Warga (hukum warga) terdiri dari:
a) Hukum Pertalian Sanak (perkawinan, waris).
b) Hukum Tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah).
c) Hukum Perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang
benda selain tanah dan jasa).

3) Hukum Adat mengenai detik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.
Hukum Adat yang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat indonesia, sedangkan masyarakat itu sendiri selalu berkembang, dengan tipeyang mudah berubah dan elastik, maka sejak penjajahan Belanda banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari polotik hukum yang ditanamkan oleh pemerintah penjajah itu.

3). Sistem Hukum Barat.
Hukum Barat mengacu pada tradisi hukum dari budaya Barat . Western culture has an idea of the importance of law which has its roots in both Roman law and the Bible . Budaya Barat memiliki gagasan tentang pentingnya hukum yang berakar baik dalam hukum Romawi dan Alkitab . As Western culture has a Graeco-Roman Classical and Renaissance cultural influence, so does its legal systems. Sebagai budaya Barat memiliki Graeco-Romawi Klasik dan Renaissance pengaruh budaya, begitu pula sistem hukum.
Barat budaya hukum adalah bersatu dalam ketergantungan sistematis konstruksi hukum. Such constructs include corporations , contracts , estates , rights and powers to name a few. Konstruksi tersebut termasuk perusahaan , kontrak , perkebunan , hak dan kekuasaan untuk beberapa nama. These concepts are not only nonexistent in primitive or traditional legal systems but they can also be predominately incapable of expression in those language systems which form the basis of such legal cultures. Konsep-konsep ini tidak hanya tidak ada dalam sistem hukum primitif atau tradisional tetapi mereka juga dapat didominasi mampu berekspresi di sistem-sistem bahasa yang membentuk dasar dari budaya hukum tersebut.
As a general proposition, the concept of legal culture depends on language and symbols and any attempt to analyse non western legal systems in terms of categories of modern western law can result in distortion attributable to differences in language. So while legal constructs are unique to classical Roman, modern civil and common law cultures, legal concepts or primitive and archaic law get their meaning from sensed experience based on facts as opposed to theory or abstract. Sebagai proposisi umum, konsep budaya hukum tergantung pada bahasa dan simbol-simbol dan setiap usaha untuk menganalisis sistem non-hukum Barat dalam hal kategori hukum Barat modern dapat mengakibatkan distorsi disebabkan perbedaan bahasa. Jadi, sementara konstruksi hukum unik untuk klasik Romawi, modern, budaya hukum sipil dan umum, konsep hukum atau hukum primitif dan kuno mereka mendapatkan arti dari pengalaman merasakan didasarkan pada fakta sebagai lawan teori atau abstrak. Legal culture therefore in the former group is influenced by academics, learned members of the profession and historically, philosophers. Budaya hukum karena itu dalam kelompok mantan dipengaruhi oleh akademisi, belajar anggota profesi dan historis, filsuf. The latter group's culture is harnessed by beliefs, values and religion at a foundational level. Budaya kelompok terakhir ini dimanfaatkan oleh keyakinan, nilai dan agama pada tingkat dasar.

4). Sistem Hukum Nasional.
Sistem hukum Indonesia adalah kompleks karena merupakan pertemuan tiga sistem yang berbeda. Prior to the first appearance of Dutch traders and colonists in the late 16th century and early 17th century, indigenous kingdoms prevailed and applied a system of adat (customary) law. Sebelum penampilan pertama dari pedagang Belanda dan koloni di akhir abad ke-16 dan abad 17 awal, kerajaan pribumi menang dan menerapkan sistem adat (adat) hukum. Dutch presence and subsequent colonisation during the next 350 years until the end of World War II left a legacy of Dutch colonial law. Kehadiran Belanda dan penjajahan berikutnya selama 350 tahun berikutnya hingga akhir Perang Dunia II meninggalkan warisan hukum kolonial Belanda. A number of such colonial legislation continue to apply today. Sejumlah undang-undang kolonial seperti ini terus berlaku hari ini. Subsequently, after Indonesian declared independence on 17 August 1945, the Indonesian authorities began creating a national legal system based on Indonesian precepts of law and justice. Selanjutnya, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mulai menciptakan sistem hukum nasional Berdasarkan indonesian ajaran hukum dan keadilan.
These three strands of adat law, Dutch colonial law and national law co-exist in modern Indonesia. Ketiga helai hukum adat, hukum kolonial Belanda dan hukum nasional hidup berdampingan di Indonesia modern. For example, commercial law is grounded upon the Commercial Code 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang or Wetboek van Koophandel), a relic of the colonial period. Sebagai contoh, hukum komersial didasarkan pada Kode Komersial 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel), sebuah peninggalan masa kolonial. However, commercial law is also supplemented by a large number of new laws enacted since independence. Namun, hukum komersial juga dilengkapi dengan sejumlah besar undang-undang baru diberlakukan sejak kemerdekaan. They include the Banking Law 1992 (amended in 1998), Company Law 1995, Capital Market Law 1995, Antimonopoly Law 1999 and the Oil & Natural Gas Law 2001. Mereka termasuk UU Perbankan 1992 (diamandemen pada 1998), Hukum Perusahaan 1995, Undang-undang Pasar Modal 1995, UU Antimonopoli 1999 dan Hukum Gas Alam Minyak & 2001. Adat law is less conspicuous. Hukum adat yang kurang mencolok. However, some adat principles such as “consensus through decision making” (musyawarah untuk mufakat) appear in modern Indonesian legislation. Namun, beberapa prinsip-prinsip adat seperti "konsensus melalui pengambilan keputusan" (musyawarah mufakat UNTUK) muncul dalam undang-undang Indonesia modern.

6. Politik Hukum Nasional Indonesia.
a) Sendi-sendi Hukum Nasional.
b) Sistem Peradilan di Indonesia dan Penegakkanya.
c) Kebijakan dan Program Pembangunan Hukum Nasional menyangkut
(materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana).

7. Bidang-bidang/lapangan hukum dalam tata hukum Indonesia
a) Hukum Pidana.
dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak,kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakkan untuk mempertahankan status diri.
Hukum Pidana ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam menindakan pelanggaran kepentingan umum.
Secara Konkrit tujuan hukum pidana ada dua, ialah:
1) Untuk menakut-nakuti semua orang agar jangan sampai nelakukan perbuatan yang tidak baik.
2) Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala sosial yang kurang sehat disamping pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. Tujuan hukum pidana itu juga memberi sistemdalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu: asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem.
Ilmu-ilmu pembantunya dalam hukum pidana antaranya:
1) Antropologi
2) Filsafat
3) Etihca
4) Statistik
5) Medicina forensic (ilmu kedokteran bagian kehakiman)
6) Psychiatrie - kehakiman
7) Kriminologi
Peristiwa Pidana, yang juga disebut tindakan pidana (delict), ialah suatu perbuatan atau suatu rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan Hukum pidana. Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:

1) Hukum Pidana Obyektif, (Jus Punale),
Yakni suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat hukum yang oleh hukumdilarang oleh dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif disini adalah tindakannya.
Hukum Pidana Obyektif yang dapat dibagi:
a) Hukum Pidana Material
b) Hukum Pidana Formal (hukum Acara Pidana)

Pengertian dari Hukum Pidana Material, ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.

Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Pengertian dari Hukum Pidana Formal, ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum pidana material).

2) Hukum Pidana Subyektif (Jus Puniendi),
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).

3) Hukum Pidana Umum, ialah Hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun juga diseluruh indonesia) kecuali anggota ketentaraan.

4) Hukum Pidana Khusus, ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu.
Contoh:
a) Hukum Pidana Militer, berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dalam militer.
b) Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseorangan dan meraka yang membayar pajak (wajib pajak).

Maka jika ada sesuatu yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana, syarat yang harus dipenuhi sebagai peristiwa pidana ialah:
1) Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatantertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat sepertiyang terjadi danterhadapnya wajib mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.
3) Harus terbukti adana kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4) Harus berlawanan dengan hukum.
5) Harus tersedia ancaman hukumnya.

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Kita telah mengetahui bahwa sifat hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutinya peraturan-peraturan hukum. Tapi dalam hukum Pidana paksaan itu disertai sesuatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam jenisnya.

Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana terdiri atas:
1.Pidana Mati.
2.Pidana Penjara:
3.Pidana seumur hidup.
4.Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).
5.Pidana Kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun).
6.Pidana denda.
7.Pidana tutupan.

2). Pidana Tambahan:
1) pencabutan hak-hak tertentu.
2) perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
3) pengumuman keputusan hakim.

Hukuman-hukuman itu telah dipandang perlu, agar kepentingan umum dapat tetap terjaga dan terjamin keselamatannya.
1.Hukum Pokok

a. Hukuman Mati
Sejak hukum pidana berlaku dicantumkan sebagai Wetboek van strafrecht voor nederlandsch Indie diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pwmwrintah tidak menghendaki adanya ganguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti umum. Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam pasal 11 yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantung dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”. Ketentuan pasal ini mengalami perunahan yang ditentukan dalam S. 1945:123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari apa yang tentang hal ini ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh GubernurJenderal dilakukan secara menembak mati”. Maka hukuman mati dilaksanakan dengan “menembak mati” terhukum.

b. Hukuman penjara
Penjara adalah suatu tempat khusus dibuat dandigunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan hakim. Demikian diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumanya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Maka Pemerintah mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuklembaga disamping lamanya menjalani hukuman itu.

c. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman hukumannya pun ringan. Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa lamnya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan.

d. Hukuman denda
Ketentuan Hukuman Denda dicantumkan dalam pasal 30-33. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terpidana,maka akan dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.

2. Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahannya. Misalnya seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjaran dan dicabut hak pilihanya dalam pemilihan umum yang akan datang.
1) Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-undang Hukum Pidana Ialah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya.
Sistematika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdiri atas 569 pasal secara sistematik dibagi dalam:
- Buku I:Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leerstruken)Pasal 1–103,
- Buku II:mengatur tentang tindak Pidana Kejahatan (Misdrijven)pasal 104–488
- Buku III:mengatur tentang tindak pidana Pelanggaran (Overstredingen)Pasal 489 – 569.

Buku I sebagai Algemene leerstrukken mengatur mengenai pengertian dan asas-asas hukum pidana positif pada umumnya baik mengenai ketentuan-ketentuannya yang dicantumkan dalam buku II dan III maupun peraturan perundangan hukum pidana lainnya yang ada diluar KUHP.

2)Asas berlakunya Hukum Pidana.
Asas Nullum delictum ini memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang dilakukan tanpa Undang-undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dipidanakan.
Asas Nullum delictum juga bertujuan melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang dari peradilan Arbitrer pada zaman sebelum Revolusi Prancis (1789-1795).
Asas iitu mempunyai makna yang bertujuan melindungi individu (legalitas). Pasal 1 ayat 1 KUHP yang memiliki asas legalitas itu mengandung beberapa pokok pemikiran sebagai berikut:
1) Hukum Pidana hanya berlaku terhadap perbuatan setelah adanya peraturan.
2) Dengan adanya sanksi pidana, maka hukum Pidana bermanfaat bagi masyarakat yang bertujuan tidak akan ada tindakan pidana karena setiap orang harus mengetahui lebuh dahulu peraturan dan ancaman hukum pidananya.
3) Menganut adanya kesamaan kepentingan yaitu selain memuat ketentuan tentang perbuatan pidana juga mengatur ancaman hukumanya.
4) Kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan individu.
Asas legalitas ini memiliki rancangan luas yang artinya dalam mengembangkan hukum pidana dapat disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

3). Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana.
Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat, yakni:
1) Asas Teritorialitas (Teritorialiteits beginsel)
Ketentuan asas ini dicantumkan dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana”. Bagi orang asing sebagai penghuni Indonesia, jika melakukan tindak pidana terhadapnya akan dikenakan tindak pidana aturan Indonesia. Berlakunya tindak pidana di Indonesia diperluas dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap kapal yang berbendera Indonesia dan bergerak diluar wilayah teritorial, maka aturan pidana terus mengikutinya.
2) Asas Nasionalitas Aktif (actief nationalitetsbeginsel)
Aturan Nasionalitas Indonesia tujuanya untuk melindungi kepentingan umum (nasional). Asas kepentingan Nasional dalam aturan Hukum Pidana Indonesia disebut “Nasionalitas Aktif” atau Personalitas (personalitetsbeginsel). Terhadap asas personalitas ini ada pembatasan hukumannya yang dicantumkan dalam pasal 6 dan menyatakan bahwa “berlakunya pasal 5 ayat 1 sub 2 itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan pidana mati untuk peristiwa yang tidak diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negara tempat peristiwa itu dilakukan”.
3) Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationalitets beginsel)
Asas ini juga disebut “asas Perlindungan” (beschermingsbeginsel) bertujuan melindungi kepentingan terhadap tindakan baik warga negara sendiri maupun orang asing yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia yang dilakukannya untuk menjatuhkanwibawa dan martabat Indonesia. Pasal 8 menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi nakhoda dan pelayar bahtera Indonesia yang diluar wilayah, walaupun tidak berada diatas pelayaran, melakukan salah satu tindak pidana yang diterangkandalam Bab XXIX buku kedua dan Bab IX buku ketiga, demikian juga yang diterapkan dalam Peraturan umum tentang surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi kapal 1927.
4) Asas Universalitas (Universaliteits beginsel)
Asas Universalitas bertujuan untuk melindungi hubungan antarnegara tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya. Yang diperhatikan adalah kepentingan negara lain sebagai tempat dilakukan suatu tindak pidana tertentu. Tercantum dalam pasal 4 sub 4 yang menyatakan bahwa “melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 438, 444-446 tentang pembajakan dan yang ditentukan dalam pasal 447 tentang menyerahkan suatu bahtera kapada kekuatan pembajak laut.

Senin, 25 November 2013

Hukum Perdata Internasional BAB III-V

Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2013/2014
BAB III
PRINSIP KEWARGANEGARAAN DAN PRINSIP  DOMISILI
Stelsel-stelsel HPI dari pada negara-negara di dunia  ini  tidak sepaham tentang perinsip manakah antara kedua perinsip ini adalah yang terbaik untuk di pergunakan bagi penentuan status Persaonil seseorang. Ada negara-negara yang memegang teguh kepada perinsip kewarganegaraan.
43. Negara-negara dengan perinsip Nasionalitas
Negara pertama adalah perancis dan negara jajahan perancis. Terdapat dalam Code Civil. (pasal 3 ayat 3), di negara Pahlawan menggunakan perinsip Nasionalitas seperti Italia dan jajahan-jajahanya. Berdasarkan berlakunya Code Civil dari tahun 1865, dalam peraturan-peraturan untuk diberlakukan Code Civil (di posisi zioni Preliminari del codice civile, pasal6).telah dicantumkan di negeri belanda dalam Undang-undang tanggal 15 mei 1829 ini telah dicantumkan berdasarkan asas kokordansi bahwa hindia belanda pun diterima ketentuan yang serupa dalam “ Algemeene bepalingen van wetgeving”(30 april 1847, S no.23, diubah S.1915 no299 jo 625) pasal 16 yang hingga kini masih berlaku untuk republik indonesia. Demikian jajahan belanda lainya. Di Rumania terdapat ketentuan serupa dalam Code Civil (pasal2) demikian di bulgaria dan finlandia.Prinsip Kewarganegaraan ini telah menjadi dasar pula dalam berbagai perjanjian-perjanjian Internasional di bidang HPI. Dapat disebut-sebut disini, konvensi-konvensi den haag tahun 1902dan 1905, persetujuan di lima dari tahun 1878.
44. Negara-negara dengan perinsip Domisili.
Dalam  kelompok ini dapat disebut semua negara-negara inggris yang menganut “common law”    . juga scotlandia,afsel dan qubec( pasal 6 C.C) dapat disebut disini denmark.negara-negara Amerika latin.
45. Tidak ada prinsip yang a priori lebih baik.
Perbedaan antara kedua prinsip ini pada pokoknya dapat dikembalikan pada perbedaan diletakanya titik berat atas segipersonalitas atau territorialitas dari pada hukum. Seperti telah kita saksikan juga disini hubungan kausal antara sistim-sistim yang menjadi realitas dan kenyataan-mayarakat tidak diabaikan.
46. Kecondongan negara-negara Eropa Kontinental terhadap negara-negara Anglo- Saxon.
Mangandung lebih banyakarti pada segi personalia dari pada negara Anglo saxon yang meletakan titik berat kepada titik-titik yangbersifat teretorial.sedangkan dalam negara Eropa Kontinental  lebih mengedepankan segi personalitas dari pada hukum.
47. Teretorialitas terhadap personalitas dari pada hukum.
Menurut sistim domisili yang mengedepankan segi teretorialitas dari pada hukum, maka semua hubungan-hubungan dari pada orang-orang yang berkenaan dengan soal-soal tentang perseorangan, kekeluargaan, warisan, singkatanya : “status personil”, di tentukan oleh domisilinya. Sebaliknya menurut sistim yang dianut negara-negara Eropa kontinental, segi personalitas yang di kedepankan.
48. Masing- masing aliran mempunyai pembela-pembelanya.
Bahwa sebenarnyakepentingan-kepentingan dari negara bersangkutan masing-masinglah yang memegang peranan dalam memilih salah satu perinsip.
49. Alasan-alasan pro prinsip Kewarganegaraan.
a) prinsip ini paling cocok untuk perasaan hukum seseorang.
 kerena terlaksana adaptasi kepada perasaan hukum dari pada yang bersangkutan. Tentunya hukum nasional lebih cocok bagi warganegara bersangkutan. Dari segi kebutuhan dari warganegaraanya sendiri.
b) lebih permanen dari hukum domisili.
Katanya perinsip kewarganegaraan lebih tetap (permanen bestending duurzam”) dari pada perinsip domisili, karena kewarganegaraan tidak demikian mudah dirubah-rubah seperti domisili. Sedang status personil yang termasuk mengatur hubungan kekeluargaan memerlukan stabilitas sebanyak mungkin.
c) Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak.
Karena pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui dari pada domisili seseorang. Itulah cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan sesuatu negara.
50. Alasan-alasan pro prinsip domisili.
a. hukum domisili adalah hukum dimana yang bersangkutan sesungguhnya hidup.
Diamana seseorang sehari-harisesungguhnya hidup , sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulahyang dipakai untuk menentukan status personilnya.
b. prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili.
Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat di laksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.
c. hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim.
Diajukanya suatu perkara di hadapan hakim dari tempat tinggal para pihak atau pihak tergugat yang merupakan pegangan utama untuk menentukan kompetensi yurisdiksi hakim.
d.cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum.
Domisili satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara-negara yang struktur hukumnya tidak mengenal persatuan hukum.terdapat ketentuan-ketentuan yang mengenal kewarganegaraan-kewarganegaraan tersendiri dari negara-negara bagian masing-masing.
e. Domisili menolong dimana perinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan.
Adakalanya prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan, karena orang bersangkutan tidak kewarganegaraan (apatride) atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan (bipatride multipatrid).
f. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi dari para imigran.
Supaya dapat dipercepat proses adaptasi dan assimilasi dari orang-orang asing.tetapi setelah perang dunia kedua maka perinsip ini di tinggalkan dan orang kembali mempertahankan  prinsip nasionalitas.
51. Jalan keluar dari berbagai kesulitan.
Prinsip nasioanalitas membawa berbagai kesulitan.karena terlampau teguh di pegang dari pada nasionalitas ini.
52. Pendirian kita.
Kepentingan-kepentingan yang bersifat politis dan tradisi dari negara-negara bersangkutan memegang peranan yang penting dalam menentukan pilihan perinsip-perinsip HPI untuk status personil mereka ini.
53. Prinsip nasionalitas yang sekarang berlaku untuk RI.
Dalam pasal 16 A.B kalimat pertama ditanyakan bahwa prinsip nasionalitaslah yang di pakai dan berlaku.adanya apa yang dinamakan “ontaarding” dari pada prinsip nasionalitas karena pemakaian terlalu kaku dapat kita saksikan dengan peristiwa De Ferrari.
54. Contoh perkara De Ferrari.
Terjadinya perbedaan negara antara suami istri yang inggin bercerai . yang masing-masing negara mengutamakan hukum nasionalnya sendiri dan kepentingan warganegaranya sendiri. Inilah di cap sebagai ”juridisch chauvinisme” suatu sikap “nationale zelfgenoegzaamheid” yang tidak dapat dibenarkan.
55.Contoh-contoh dari Yurisprudensi Perancis.
Pertimbangan dari cour de cassation sebagai berikut : bahwa fakta kewarganegaraan perancis belaka tidaklah cukup untuk selalu memaksakan diberlakukanya hukum Perancis dalam perkara-perkara dimana status dari pada seseorang perempuan warganegara perancis yang dipersoalkan.
56.  Perkara-perkara lain yang mengedepankan hukum domisili.
Dipakainya hukum dari domisili bersama ini adalah sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Kollewijn dalam tahun 1929 pada Pidato Dies Lustrum pertama Rechts Hogeschool di jakarta. Hukum domisili bersamalah yang dipakai.
57.  Perkara Bisbal.
Ketidak pastian dalam memperoleh perceraian. Jadi perceraian harus di laksanakan di tempat tinggal tergugat .
58. Perkara Boll.
Bidang hukum Kekeluargaan. Yaitu anak dan orang tua. Dalam mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan Prinsip Domisili.
59.Prinsip yang sebaiknya Untuk Indonesia.
Sebaiknya Perinsip Domisili bagi Indonesia. 1) alasan Praktis. 2) Menggunakan B.W. 3) sejalan dengan Praktek hukum dan administrasi. 4) bahan-bahan bacaan hukum asing. 5) Pluralisme Hukum. 6) negara Imigrasi. 7) asas daerah kelahiran. 8) Indonesia berada di lingkungan negara Prinsip Domisili.
60. Pendirian Kami.
Memakai Perinsip Domisili. Nasionalitas pasal 16 A.B. dan metap selama 2 tahun  dimana mereka hidup dan menetap.
BAB 1V
PENUNJUKAN KEMBALI (RENVOI)
Masalah Renvoi timbul karena adanya aneka sistem HPI. Yang masing-masing negara memilikinya sendiri-sendiri. Yang tidak seragam. Akibat dari Prinsip Nasionalitas atau perinsip Domisili timbulah masalah Revoi.
61. Hubungan dengan masalah kwalifikasi.
Hukum asing bahwa hukum intern dari negara yang bersangkutaan yang harus diberlakukan dan juga kaidah-kaidah HPInya.
62. Contoh .
1) Hukum Intern hukum antar sesama orang inggris. 2) kaidah-kaidah HPI “choice of Law” HPI inggris.
63, Istilah-istilah.
Indonesia ada Istilah Penunjukan Kembali.
64. Contoh.
Mengenai Renvoi adalah apabila untuk seseorang inggris yang inggin berdomisili di indonesia ditentukan berdasarkan  denagan dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, atau dia harus melakukan sesuatu tindakan hukum lain berkenaan dengan status personilnya , maka menurut HPIindonesia berdasarkan pasal 16 A.B harus di pakai hukum inggris.
65.Contoh Tentang Penunjukan Lebih jauh.
Apabila memang perkawinan di anggap batal, maka hal ini akan berarti suatu ketidakadilan yang luar biasa suatu summa iniura, atau “Schweres Unrecht”.
66. Renvoi dan sifat nasional dari HPI.
HPI Bersifat Supra nasional mengoper atau yang menolak Revoi yang selalu berlaku. atau yang nasional.
67. Peristiwa “Forgo”
Warisan berlaku berdasarkan warganegaranya. Walaupun hartanya di negara lain.
68. Tidak semua penulis setuju dengan renvoi.
(I) Renvoi tidak Logis. Artinya tidak ada suatu penyelesaian karena terus menerus . hilir mudik katanya.
(II) Renvoi merupakan “Penyerahan kedaulatan legislatip” kemauan pada negara bersangkutan sendiri.
(III) Renvoi membawa ketidak pastian hukum.  Akan memperoleh kesulitan-kesulitan kalau menerima Renvoi ini. Sebaiknya di tolak.
69. Alasan-alasan Pro renvoi.
(I) Renvoi memberi keuntungan praktis. Jika diterima renvoi maka berarti hukum intern sendiri dari sang hakim yang dipergunakan dan ini suatu keuntungan praktis yang sangat berarti.
(II)  Jangan “Plus Royaliste que le roi” merupakan suatu konsensi untuk sejalan lebih dahulu.
(III) keputusan-keputusan yang berbeda. Negara yang menunjukan dan negara yang menunjuk kembali.
(IV)  Harmoni dari keputusan-keputusan. Yang mendukung revoi.
70. Penilaian Kami.
Dapat dikatakan seimbang. Karena memiliki alasan-alasan yang dapat di pertanggung jawabkan. Menurut hukum positif Revoi nyatanya dapat diterima.
71.Praktek administratif di Indonesia menerima renvoi.
Telah lama praktek administratif dinegeri ini revoi telah diterima.ketentuan seperti tercantum dalam pasal 42 dan seterusnya B.W. dipergunakan pula untuk orang Amerika, Inggris,dan Denmark. Semua negara yang menganut prinsip domisili dalam HPI mereka.
72.  Pendirian Yurisprudensi.
Secara hukum positif dapat kita melihat bahwa yurisprudensi di indonesia menerima Revoi.
(I)                Perkara orang Armenia Nasrani. Ke arah perinsip kewarganegaraaan.bahwa pada hakekatnyaditerima lembaga penunjukan kembali dalam keputusan ini.
(II)             Perkara palisemen seorang British India. Dari penunjukan HPI Indinesia ini kepada hukum British India yang juga mencakup kaidah-kaidah HPInya dan adanya penunjukan kembali dari pada hukum HPI British India ini kepada Indonesia,dimana hakim telah menerima penunjukan kembali dan memakai ketentuan intern di indonesia, menerima lembaga penunjukan kembali.
73.  Kami berpendapat bahwa penerimaan renvoi oleh hakim Indonesia, yang menghasilkan dipakainya hukum intern Indonesia, adalah sikap yang tepat dan bijaksana.
Adalah tempatnya apabila kita sendiri , jika ada kesempatan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk itu.
74. Renvoi Di Negara-negara lain.
Perancis. Menolak Revoi
Italia. Ditentang Revoi
Jerman. Penerimaan Revoi (pasal 27 EGBGB)
Swiss. Penerimaan Revoi ( pasal 28 dan 31 NAG)
Nederland. Umumya menentang walaupun menyimpang umumnya di tolak.
Negara Asia-Afrika menerima Renvoi.
Mesir. Tidak menerima Renvoi.
Negara-negara Anglo Saxon di terima.
75.Skema dari pada sistim kontinental.
X=======รจY sistim Foreign court Theory.
76. Perkara in re Annesley.
Warisan menurut hukum negara asalnya Inggris hartanya di negara lain Perancis .namun anaknya waarga negara Perancis tersebut. Karena inggris menggunakan hukum domisili maka Perancislah yang ditunjuk untuk mengadili perkara ini walaupun Perancis menganut hukum negara asal.
77.Perkara In re Ross, Ross V. Waterfield.
Karena hukum Inggris menganut hukum domisili maka jika perkara ini harus diadili oleh badan peradian italia, maka surat Ros dianggap sah adanya.
78.  De Duke  of  Wellington : Glentanar v. Wellington.
Contoh ini adalah contoh pemakaian “the foreign court theoory”.
79.Renvoi di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat tidak ada peraturan tertulis tentang Revoi. (pasal 7 sub b) menurut hukum internya dan tidak kaidah-kaidah HPI-nya.
80. Negara-negara Sosialis.
Umumnya menerima Revoi ini walau ada juga yang menolaknya.
81. Perjanjian-perjanjian Internasional.
(I) Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955. Tentang mengatur perselisihan. Antara Nasionallitas dan Domisili.
(II) Persetujuan hukum Unifrom HPI negara-negara Benelux 1951.  Bahwa Revoi tidak diterima lebih ke intern.
82. Pendirian Kami.
Kami menyetujui penerimaan renvoi. Alasan praktis. Bukan juridis. Revoi diterima untuk bidang “ Personeel statut”  dan “ Real statut ”.
BAB V
KWALIFIKASI
Masalah kwalifikasi dan renvoi seringkali dibicarakan dan kedua-duanya ini merupakan bagian dari ajaran Pokok HPI.
83.istilah-istilah.
Kwalifikasi sebenarnyaadalah melakukan “translation” atau “penyalinan” dari pada fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum.
(I)                Persetujuan orangtua untuk menikah.
(II)             Masalah Penentuan locus contractus
(III)          Mengenai benda bergerak atau tidak bergerak.
84. Harta benda perkawinan aatau perwarisan.
Terkenal pula adalah perbedaan paham mengenai kwalifikasi “Hukum harta benda perkawinan” atau hukum warisan.
85. Perkara Anton V. Bartolo.
“The maltese case.” Memakai kwlifikasi Code Rohan hakim melakukan kulifikasi hukum menurut sistem yang dipilihnya.
86. Persoalan HPI tak mungkin lenyap.
Karena adanya perbedaan kwalifikasi antara berbagai sistim HPI di negara-negara di dunia ini.
87.macam-macam kwalifikasi.
a. kwalifikasi menurut lex fori (yaitu menurut hukum hakim)
b. kwalifikasi menurut lex causae (hukum yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan HPI.
c. kwalifikasi secara otonom (autonomen qualifikation. Berdasarkan “comparative method”
atau “analytical jurisprudence”.
88. Kwalifikasi menurut “ lex fori”
Harus menurut hukum materiil sang hakim. Alasan Kwalifikasi menurut “ lex fori”
1.      persoalan-persoalan HPI pada umumnya hanya dapat diselesaikan demikian rupa karena ditariknya persoalan ini kearah satu sistem hukum tertentu.
2.      Dalam prakteknya sering kali kwalifikasi menurut lex fori adalah satu-satunya yang mungkin.
Dalam yurisprudensi lex fori lah yang diutamakan.
89. Kwalifikasi menurut lex causae.
Manurut pandangan ini maka kwalifikasi dilakukan menurut sistim hukum dari mana pengertian ini berasal.
90. kwalifikasi secara otonom.
Berdasarkan perbandingan hukum. Kwalifikasi dilakukan secara otonom terlepas dari salah satu hukum tertentu.
Pengecualian-pengecualian terhadap pemakaian kwalifikasi lex fori.
a.       Kwalifikasi kewarganegaraan tidak diakukan menurut hukum dari forum hakim.
b.      Kwalifikasi mengenai “ bergerak atau tidak bergerak” sesuatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae”
c.       Kwalifikasi suatu kontrak menurut “maksud para pihak” bidang perjanjian , maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
d.      Kwalifikasi dari “ perbuatan melanggar hukum”
e.       Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaaidah HPI.
f.       Kwalifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku.
91. Kwalifikasi Primer dan sekunder.
(1). Secara Primer adalah kwalifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan.
(2). Secara Sekunder apabila sudah diketahui hukum asing manakah yang harus dipergunakan . maka perlu dilakukan kwalifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang di kemukakan itu.
92. Pendapat kami.
Pendapat kami adalah untuk menggabungkan diri pada aliran yang terbanyak dianut, yaitu memilih kwalifikasi menurut lex fori. Kami sependapat bahwa masalah-masalah HPI tidak akan mungkin lenyap.
DAFTAR  PUSTAKA
Gautama, 1987,Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung, Binacipta Bandung.