1.
Latar Belakang.
(General Statement)
Perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal
2 ayat (1).Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. dan (2)Tiap-tiap
Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Umumnya Perkawinan merupakan sesuatu yang
sudah menjadi kodrat manusia, dimana perkawinan bertujuan untuk membentuk
mahligai rumah tangga yang bahagia dan kekal serta sejahtera lahir maupun batin
sesuai dengan yang dicita-citakan.
Perjanjian
Perkawianan dalam
Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar_batas-batas_hukum_agama_dan_kesusilaan.
Dari uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,_tidak_membenarkan_adanya_kawin=kontrak.[1]
Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian, tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk_sahnya_suatu_perjanjian_diperlukan_4_syarat:
1._Sepakat_mereka_yang_mengikatkan_dirinya.
2._Kecakapan_untuk_membuat_suatu_perikatan.
3._Suatu_hal_tertentu
4._Suatu-sebab-yang-halal.
Sedikit membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang_(Pasal_1332_BW)_dan_bukan_perasaan,_sebagimana dimaksudkan_dalam_klausula_kawin_kontrak_pada_umumnya".[2]
Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab_yang_palsu_atau_terlarang_tidak_mempunyai-kekuatan.[3]
Dari uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,_tidak_membenarkan_adanya_kawin=kontrak.[1]
Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian, tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk_sahnya_suatu_perjanjian_diperlukan_4_syarat:
1._Sepakat_mereka_yang_mengikatkan_dirinya.
2._Kecakapan_untuk_membuat_suatu_perikatan.
3._Suatu_hal_tertentu
4._Suatu-sebab-yang-halal.
Sedikit membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang_(Pasal_1332_BW)_dan_bukan_perasaan,_sebagimana dimaksudkan_dalam_klausula_kawin_kontrak_pada_umumnya".[2]
Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab_yang_palsu_atau_terlarang_tidak_mempunyai-kekuatan.[3]
(Thesis Statement) Namun
demikian, kenyataannya dalam
masyarakat ada yang menyalahgunakan perkawinan tersebut yaitu beberapa wanita
yang melakukan kawin kontrak. Mengapa kawin kontrak marak terjadi di
Indonesia? Tentu banyak faktor penyebabnya. Selain faktor materi (uang) dan
faktor syahwat, juga ada faktor longgarnya sistem hukum di Indonesia. Menurut
hukum yang berlaku di Indonesia, pelaku kawin kontrak tidak dianggap melanggar
hukum, karena pasangan kawin kontrak dianggap melakukan akad nikah beneran
secara sadar dan atas dasar suka sama suka. Biasanya yang dilaporkan kepada
polisi bukan kasus kawin kontraknya itu sendiri, tapi hal-hal lain yang terjadi
dalam kawin kontrak. Misalnya, ketika ada kasus suami memukul isteri, atau
isteri menuntut karena bayaran yang dijanjikan suami kurang, dan sebagainya.[4]
(Supporting Idea) Karena itu akibat Hukumya Perkawinan ini banyak berdampak dapat
merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial,
Secara hukum perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas
nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal. Selain itu sang istri tidak berhak
atas harta gono-gini. Karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah terjadi, secara sosial, sang istri sulit bersosialisasi karena telh
dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan Perkawinan ( alias
kumpul kebo) atau istri simpanan, tidak sahnya perkawinan menurut hukum negara,
memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. satus
anak dianggap sebagai anak tidak sah. Hanya memiliki hubugan perdata dengan
ibunya itu.
karena pelaku kawin kontrak tidak dicatatkanya perkawinan (pasal 2 ayat 1
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974) 1. Perkawinan dianggap tidak sah
dimata negara jika belum dicatatkan oleh kantor urusan agama atau catatan
sipil. 2.Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu dan keluarga
Ibu(pasal 42 dan 43 undang-undang Perkawinan). 3. Anak dan Ibunya tidak berhak
atas nafkah dan warisan. Dampaknya kedudukan dan haknya adalah baik istri
maupun Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut
nafkah ataupun warisan dari Ayahnya . Namun demikian, Makamah Agung RI
mengabulkan gugatan nafkah bagi anak
hasil hubungan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.[5]
Dan Makamah Konstitusi menyatakan
meskipun masa kawin kontrak sudah habis, namun hubungan perdata dengan ayahnya
tetap ada.namun harus membuktiakan dahulu di pengadilan bahwa pernah terjadi
kawin kontrak dan ada anak yang hadir dari kawin kontrak tersebut, “harus
dibuktikan dulu di pengadilan “karena waktu perkawinan terjadi kan ada saksinya
dan alat buktinya. Jika kemudian si ayah tidak mmengakui nantinya bisa
dilakukan tes DNA. Mahfud mengatakan aturan diatas bertujuan agar tidak ada
anak yang menderita karena perbuatan tidak bertanggung jawab dari seorang
laki-laki atau perempuan.[6]
2.
Permasalahan
1.
Bagaimana aturan
Hukum terhadap Kawin Kontrak?
2. Apakah akibat Hukum yang muncul akibat perkawinan ini, seperti status perkawinan,
Anak, dan Warisan?
5. Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui
aturan Hukum dari Kawin Kontrak.
2. Mengetahui tentang bagaimana Kawin kontrak itu terjadi.
6.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini
dapat bermanfaat bagi perkembangan khususnya tentang kawin kontrak sesuai
dengan Undang-undang di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Penelitian
ini dapat menjadi referensi bagi permasalahan hukum khususnya tentang
Perkawinan Yang menyimpang. Selain itu dapat dijadikan Sebagai acuan penelitian
lebih lanjut.
7.Tinjauan Pustaka
1.a. Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan
terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dalam hal perkawinan.
Karena perkawinan merupakan dari suatu aktivitas dari suatu pasangan,
maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan
itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tentu
tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar
terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut.[7]
b. Dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan jelas disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi apa sebenarnya tujuan perkawinan. Namun demikian seperti yang dikatakan diatas bahwa keluarga terdiri dari dua individu, dan dari dua individu ini mungkin berbeda tujuan, maka hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang cukup mendalam.
c.
Perkawinan dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridhloi Allah SWT.
Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku.[8]
Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang
sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.[9]
Pernikahan adalah ikatan sosial
atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan.
Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
2.a. Kawin
kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya
adalah haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan
orang sholat tanpa berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak
diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan
kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT
sebagai amal ibadah.
Mengapa kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al
Qur`an maupun Al Hadits tentang pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan
jangka waktu tertentu. Pernikahan dalam Al Qur`an dan Al Hadits ditinjau dari
segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu maksudnya untuk jangka waktu
selamanya, bukan untuk jangka waktu sementara. Maka dari itu, melakukan kawin
kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu hukumnya tidak sah,
karena bertentangan ayat Al Qur`an dan Al Hadits yang sama sekali tidak
menyinggung batasan waktu.
Perlu diketahui ada hukum-hukum Islam yang dikaitkan
dengan jangka waktu, misalnya masa pelunasan utang piutang (QS Al Baqarah
: 282); juga masa iddah, yaitu masa tunggu wanita yang dicerai (QS Al Baqarah :
231). Hukum-hukum Islam yang terkait waktu ini, otomatis pelaksanaannya akan
berakhir jika jangka waktunya selesai. Namun hukum Islam tentang nikah, tidak
dikaitkan dengan jangka waktu sama sekali. Kita bisa membuktikannya dengan
membaca ayat-ayat yang membicarakan nikah, seperti QS An Nisaa` : 3; QS
An Nuur : 32; dan sebagainya. Ayat-ayat tentang nikah seperti ini sama sekali
tidak menyebutkan jangka waktu. Maka perkawinan dalam Islam itu dari segi waktu
adalah bersifat mutlak, yaitu tidak dilakukan untuk sementara waktu tetapi
untuk selamanya (abadi).[10]
Selain
ayat-ayat Al Qur’an tersebut, keharaman kawin kontrak juga didasarkan
hadits-hadits yang mengharamkan kawin kontrak (nikah mut’ah). Memang
kawin kontrak pernah dibolehkan untuk sementara waktu pada masa awal Islam,
tapi kebolehan ini kemudian di-nasakh (dihapus) oleh Rasulullah SAW
pada saat Perang Khaibar sehingga kawin kontrak hukumnya sejak itu haram sampai
Hari Kiamat nanti. Rasulullah SAW bersabda,”Wahai manusia, dulu aku pernah
mengizinkan kalian untuk melakukan kawin kontrak (mut’ah). Dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga Hari Kiamat…(HR. Muslim).
Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata kepada Ibnu Abbas RA,” Pada saat
perang Khaibar, Rasulullah SAW melarang kawin kontrak (mut’ah) dan
(juga melarang) memakan daging himar (keledai) jinak.” (HR. Bukhari dan
Muslim).[11]
Perjanjian Perkawianan Pasal 29, ayat 2 menyatakan
bahwa perjanjian_tersebut_tidak_dapat_disahkan_bilamana_melanggar_batas-batas_hukum_agama_dan_kesusilaan.
Kawin kontrak secara yuridis
Makna Yuridis dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan : Menurut
hukum. Kawin kontrak yang akan saya bahas adalah berdasar dasar yuridis Islam
atau menurut dasar hukum Islam. Karena permasalahan yang banyak dibahas dalam
buku-buku dan memang perdebatan di masyarakat sendiri mencakup boleh tidaknya
berdasar hukum agama.
Nikah mut’ah atau di Indonesia sering disebut nikah kontrak, nikah
sementara waktu atau nikah terputus, merupakan masalah dan salah satu titik
rawan dalam hubungan antara dua kelompok: Ahlus-Sunnah dan Syiah. Yang satu
mengharamkannya secara mutlak dan yang lainnya menghalalkannya secara mutlak.[12]
Dalam pandangan Yuridis
Ahlus-Sunnah
Ahlus-Sunnah memberikan hukum terhadap praktek nikah mut’ah dengan hukum
haram, ini berdasarkan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW
telah mengharamkan nikah mut’ah. Seperti riwayat Hadits dibawah ini, memberikan
penjelasan bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Muhammad bin Ali meriwayatkan bahwa Ali (pernah diberi tahu oleh seorang
bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah, maka dia berkata kepada Ibnu
Abbas,”Sesungguhnya Nabi SAW melarang nikah mut’ah dan melarang (memakan)
daging kedelai pada waktu perang Khaibar.”[13]
Diriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya, bahwa
Rasulullah SAW melarang nika mut’ah. Rasulullah SAW bersabda: “ Ketahuilah,
sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai sekarang sampai hari Kiamat.
Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni upah), maka janganlah ia
mengambilnya kembali.”[14]
Jabir bin Abdullah menceritakan , “Pada suatu hari, kami pernah melakukan
nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada
masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar hingga akhirnya pada masa Umar dilarang
karena kasus Amr bin Huraits,” (HR. Muslim).[15]
Dari hadits diatas dijelaskan bahwa dilarangnya nikah mut’ah kerena kasus
Arm bin Huraits, namun terus terang saya sendiri tidak menemukan kasus seperti
apa yang terjadi dengan Arm bin huraits dalam buku-buku yang saya baca.
Sehingga apabila pembaca memiliki jawaban, saya akan sangat senang menerimanya.
Kembali kepada pembahasan nikah mut’ah, saya juga menambahkan beberapa hadits
lagi yang berkenaan dalam larangan nikah mut’ah, seperti dibawah ini.
Dari Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya pernah berperang barsama Rasulullah SAW
pada waktu pembebasan Kota Mekah, dia berkata,, “kami menetap di Mekah selama
lima belas hari. Lantas, Rasulullah SAW mengizinkan kami untuk menikahi wanita
dengan cara mut’ah. Kemudian, aku dan seorang pria dari kaumku yang tidak
terlalu tampan bahkan hamper berwajah buruk keluar dengan mengenakan pakaian.
Pakaianku agak lusuh dan pakaian sepupuku baru dan menarik. Sehingga pada saat
kami berada di bagian utara atau selatan Mekah, kami bertemu dengan seorang
gadis perawan yang tinggi semampai. Kami bertanya, “Apakah engkau mau melakukan
nikah mutah dengan salah satu dari kami?” wanita itu bertanya,” Apa yang akan
kalian berikan?” Lalu masing-masing kami menebarkan pakaian. Aku membuatnya
melihat kepada dua kaki sedangkan temanku membuatnya menatap ke ketiaknya,
sambil berkata, “sesungguhnya baju ini lusuh sedangkan bajuku masih baru
mentereng.” Tetapi wanita itu berkata, “Tidak masalah melakukan nikah mut’ah
bersamanya sebanyak tiga kali atau dua kali.” Kemudian aku melakukan nikah
mut’ah dengannya. Aku tidak pernah keluar sampai nikah mut’ah diharamkan oleh
Rasulullah SAW.” (HR. Muslim).[16]
Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa Sabrah telah
melakukan pernikahan mut’ah, namun pada akhirnya dia meninggalkan pernikahan
itu berdasarkan kalimat yang ada di hadits itu, “Aku tidak pernah keluar sampai
nikah mut’ah diharamkan oleh Rasulullah SAW.” Itu artinya Rasulullah SAW akhirnya melarang nikah
mut’ah.
Kawin kontrak secara normatif
Makna kata norma dalam kamus besar bahasa Indonesia
adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat,
dipakai sebagai panduan, tatanan, dan tingkah laku yang sesuai dan berterima,
aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai atau
memperbandingkan sesuatu.
Didalam kehidupan masyarakat terdapat empat macam
norma, yaitu norma kesopanan, norma kesuliaan, norma agama, dan norma hukum.[17]
Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah aturan tingkah laku yang berlaku dimasyarakat. Jika
melanggar norma kesopanan, kita tidak akan dihargai atau dihormati orang lain.
Kita bahkan dicemooh oleh orang lain.[18]
Dalam masalah nikah mut’ah yang sedang kita bahas dengan pijakan sudut
pandang norma kesopanan memang antara satu daerah dengan daerah lain memiliki
perbedaan sudut pandang persepsi. Dalam masyarakat yang notabennya hamper tidak
ada praktek nikah mut’ah, mereka akan menganggap seorang yang melakukannya
sebagai seorang yang telah menyimpang dan mendapat ketidak berhargaan didalm
masyarakat itu. Mungkin mereka akan memandangnya sebagai salah satu bentuk lain
dari pelacuran.
Sedang dalam masyarakat yang dalam kehidupan bermasyarakatnya sudah biasa
terjadi pernikahan dengan cara mut’ah, mereka akan memandangnya secara
kesopanan biasa saja. Itu merupakan perbuatan yang biasa dilakukan dan bukan
merupakan perilaku menyimpang. Seperti halnya yang terjadi di daerah pucak bogor.
Pembangunan perumahan mewah didaerah puncak menghadirkan tempat nyaman untuk
beristri dan beristirahat bagi orang-orang luar Indonesia. Dengan keadaan yang
nyaman ini mereka juga melakukan kawin kontrak dengan para gadis setempat.
Namun dalam norma kesopanan mereka itu adalah hal yang biasa dan kadang
merupakan sebuah langkah kepahlawanan bagi keluarganya yang dilanda miskin.
Sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini secara norma kesopanan nikah mut’ah
itu bersifat relative terhadap struktur masyarakat. Karena setiap golongan
masyarakat memiliki pendangan kesopanan tersendiri berhubungan dengan masalah
nikah mut’ah.
Norma Kesusilaan
Norma sesusilaan adalah salah satu aturan yang berasal
dari akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan apa yang
buruk.[19]
Secara hati
nurani sebenarnya kawin kontrak ini ditentang. Namun banyaknya kasus yang
terjadi mempunyai latar belakang karena kebutuhan uang yang mendesak. Dengan
alasan inilah masyarakat tidak menghukumi mereka para pelaku nikah mut’ah
adalah orang yang memiliki akhlak yang buruk, karena mereka biasanya menikah
karena dorongan uang untuk keluarganya.
Norma Agama
Norma agama adalah peraturan hidup yang merupakan
perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan.[20]
Dalam pandangan
norma agama, sesungguhnya sudah dijelaskan di bagian kawin kontrak secara
yuridis. Disanan dijelaskan bahwa agama Islam menghukumi nikah mut’ah ini
dengan dua hukum pada dua golongan yang bertentangan. Pertama goolongan Ahlu
Sunnah wa al jamaah, mereka menghukuminya dengan haram sampai hari kiamat. Yang
kedua dari golongan Syi’ah, mereka menghukumi boleh melakukan nikah mut’ah,
bahkan menjadikan dasar mereka dalam beragama.
Norma hukum
b.
Didalam Pasal 1 UU No.1/1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Berdasarkan pasal ini maka jelas terjadinya kawin
kontrak bertentangan dengan filosofis tujuan perkawinan.
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa supaya
terjadi persetujuan yang sah,perlu dipenuhi empat syarat:
1.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu
pokok persoalan tertentu;
4. suatu
sebab yang tidak terlarang.[21]
Dari
serangkaian peraturan ini, ada kalimat suatu sebab yang tidak terlarang.
Sehingga bisa dikatakan sebenarnya pernikahan kontrak telah melanggar hukum
positif kita. Walaupun padam pasal tidak ditemukan pasal kusus mengenai
permasalahan kawin kontak.
Sedikit
membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif,
dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan
perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut
sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa
syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat
diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang (Pasal
1332 BW) dan bukan perasaan, sebagimana dimaksudkan dalam klausula kawin
kontrak_pada_umumnya".
Jadi,
Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang
sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat
dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang
berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu
atau terlarang tidak mempunyai-kekuatan.
Akibat
perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan hukum tidak akan mendapat pengakuan
dan tidak dilindungi oleh hukum. tindakan tidak mencatatkan perkawinan,
walaupun pekawinan sudah dilakukan sesuai denagan ajaran Islam, Dianggap telah
melakukan penyelundupan hukum, alias tidak taat hukum. karena indonesia adalah
negara hukum, dan segenap bangsa Indonesia harus tunduk kepada hukum yang
berlaku di indonesia. Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 adalah negara Indonesia yang mengatur tentang
perkawinan. Maka sejak di undangkanya Undang-undang itu karena sifatnya yang
memaksa, oleh karenanya harus ditaati dan dijalankan.
Maka
dari penjelasan diatas jelas bahwa pelaku perkawinan yang tidak sah tidak
memiliki hak-hak dimana akan merugikan Perempuan dan apa lagi bila memiliki
anak, yang berakibat tidak akan ada perlindungan secara apapun secara hukum,
karena tidak sahnya perkawinan maka tidak adanya pengesahan baik akte nikah, KTP atau KK bisa di dapatkan
pengesahan status, berakibat pada anak yang dilahirkan di perkawinan ini
seperti akte lahirnya tidak ada dan tidak jelasnya seperti dapat atau tidaknya
warisan.
Kejelasan
status perkwinan suami istri melalui bukti otentik tentang perkawinan mereka,
menjadi landasan bagi kejelasan status hukum seorang anak. Misalnya untuk
pengurusan akta kelahiran anak, landasanya adalah surat nikah. Jika suami-istri
tersebut tidak pernah mencatatkan perkawinanya, maka ketika lahir anak dan
memerlukan akta kelahiran, kantor kependudukan tidak akan mengeluarkan akta
kelahiran dimaksud.
Begitu
pula kejelasan terhadap status pasangan
suami-istri yang telah habis masa kontraknya. Hukum tidak akan melindungi suami
atau istri yang telah ditinggal karena kontraknya habis terhadap harta warisan
yang dikuasai oleh saudara atau orang
tua si kontrak. Tidak dapat mengajukan gugatan secara hukum ke Pengadilan
Agama/ Makamah Syar’iyah untuk meminta harta peninggalan almarhum difaraidhkan.
Jika sekiranya meninggal seorang istri, sedangkan harta bersama dengan suami
dikuasai oleh saudara-saudara istri. Suami menuntut pembagian harta bersama dan
bagian harta warisan dari harta warisan istrinya almarhumah. Hukum tidak
melindungi hak-hak suami oleh karena suami statusnya tidak diakui oleh hukum.[22]
Dalam
berkehidupan bermasyarakat dan bernegara, kejelasan status seseorang sebagai
suami atau sebagai istri merupakan suatu keharusan. Kepastian status itu dapat
dilihat dari bukti perkwinan mereka, dalam bentuk akta perkawinan. Sebaliknya,
suami istri yang tidak mempunyai akta perkawinan sebagai akibat pekawinanya
tidak dicatatkan, tidak memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan mereka.
Jadi
dengan dilakukanya perkawinan dibawah tangan/perkawinan tidak dicatatkan, maka
perkawinan semacam itu tidak mempunyai akibat dan konsekuensinya hukum terhadap
kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak suami istri, kejelasan terhadap
hak anak, dan kewajiban orang tua terhadap anak,dan kejelasan untuk mendapatkan
hak-hak sipil masyarakat dalam layanan publik.
c. Pihak dalam Kawin kontrak : Menurut Venny pihak perempuan dalam kawin kontrak tidak lebih dari
sekedar komoditas seks. Kawin kontrak hanya dijadikan alasan dengan menggunakan
kedok agama untuk melaksanakan prostitusi terselubung. Selain itu, nasib anak
hasil kawin kontrak pun menurut Venny tidak berbeda jauh dengan sang ibu. Hampir pasti si anak tidak akan mendapat warisan apapun.
Setelah selesai masa kontrak. Maka
anak akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.
Definisi Perkawinan
Menurut Purwadi, S.H Dengan
memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin, ini berarti bahwa
kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal
diatas. Menurut saya sebagai seorang Advokat, kawin kontrak ini mendasarkan
pada ikatan lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan
seharusnya tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk_perjanjian_atau_kontrak).
Jelaslah
bahwa kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang yang melakukan
kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi telah berbuat zina
yang merupakan dosa besar dalam Islam. Na’uzhu billahi min dzalik.
Allah SWT berfirman (yang artinya),”Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan suatu jalan yang
buruk.” (QS Al Israa` [17] : 32).
Hendaklah kita semua dapat memilih jalan yang benar dan dan
diridhoi Allah dalam menyalurkan nafsu seksual kita, yaitu pernikahan yang sah,
bukan pernikahan secara kawin kontrak. Kalaupun kawin kontrak itu dapat
menghasilkan materi (uang) dan kenikmatan, tapi ingatlah itu hanya sesaat di
dunia yang fana ini. Akibatnya di akhirat bukanlah surga, melainkan neraka.
Camkan sabda Nabi Muhammad SAW,”Yang paling banyak memasukkan manusia ke
dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan.” (HR Tirmidzi, no
2072, hadits shahih). Wallahu a’lam.
Dengan
memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin, ini berarti bahwa kawin kontrak sangat
bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal diatas. Menurut saya
sebagai seorang Advokat, kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan lahiriah
saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat
dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk_perjanjian_atau_kontrak).
Dijelaskan pula didalam
penjelasan pasal 1 tersebut bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan
agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir
atau jasmani tetapi unsur batin (rohani) memiliki peranan penting. Memiliki
keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturuanan, yang juga merupakan
tujuan perkawinan, pemeliharaan_dan_pendidikan,_menjadi_hak_dan_kewajiban_orang_tua.[23]
3a. Perkawinan
ini banyak berdampak dapat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik
secara hukum maupun sosial, Secara hukum perempuan tidak dianggap sebagai istri
sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal. Selain
itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini. Karena secara hukum
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, secara sosial, sang istri
sulit bersosialisasi karena telh dianggap telah tinggal serumah dengan
laki-laki tanpa ikatan Perkawinan ( alias kumpul kebo) atau istri simpanan,
tidak sahnya perkawinan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi
status anak yang dilahirkan di mata hukum. satus anak dianggap sebagai anak
tidak sah. Hanya memiliki hubugan perdata dengan ibunya itu.
b. karena
pelaku kawin kontrak tidak dicatatkanya perkawinan (pasal 2 ayat 1
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974)
1. Perkawinan dianggap tidak sah
dimata negara jika belum dicatatkan oleh kantor urusan agama atau catatan sipil.
2.Anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan Ibu dan keluarga Ibu (pasal
42 dan 43 undang-undang Perkawinan).
3. Anak dan Ibunya tidak berhak
atas nafkah dan warisan. Dampaknya kedudukan dan haknya adalah baik istri
maupun Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut
nafkah ataupun warisan dari Ayahnya . Namun demikian, Makamah Agung RI
mengabulkan gugatan nafkah bagi anak
hasil hubungan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.[24]
c. Dan Makamah Konstitusi menyatakan meskipun
masa kawin kontrak sudah habis, namun hubungan perdata dengan ayahnya tetap
ada.namun harus membuktiakan dahulu di pengadilan bahwa pernah terjadi kawin
kontrak dan ada anak yang hadir dari kawin kontrak tersebut, “harus dibuktikan
dulu di pengadilan “karena waktu perkawinan terjadi kan ada saksinya dan alat
buktinya. Jika kemudian si ayah tidak mmengakui nantinya bisa dilakukan tes
DNA. Mahfud mengatakan aturan diatas bertujuan agar tidak ada anak yang
menderita karena perbuatan tidak bertanggung jawab dari seorang laki-laki atau
perempuan.
8.Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian normatif dengan pendekatan yaitu :
Deskripsi yang lebih terperinci mengenai objek dan metode
penelitian pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a.
Metode Pendekatan
Metode yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif [25], yang
oleh beberapa penulis buku penelitian “hukum normatif” dipahami sebagai
penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder[26].
1.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian Penelitian ini dikategorikan
penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang mendeskriptifkan secara
terperinci hasil analisis mengenai asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf
sinkronisasi
vertikal
dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Suatu penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya.[27]
Vredenbergt membagi tipe-tipe penelitian
kedalam tiga tipe, yaitu : 1). Penelitian eksploratif (exploratory research);
2). Penelitian yang menguji satu atau beberapa hipotesis (testing research);
dan 3). Penelitian deskriptif (descriptive research)[28]. Terkait
dengan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini akan dilakukan tanpa
didahului perumusan hipotesis. Hipotesis adalah pernyataan tentang
hubungan antara dua variable atau lebih dan selali dirumuskan dalam kalimat
pernyataan. Dapat saja suatu hipotesis diperlukan dalam suatu penelitian
deskriptif yang bertujuan memperoleh data tentang hubungan suatu gejala dengan
gejala lainnya.[29]
Menurut Vredenbergt, tujuan penelitian
deskriptif ialah melukiskan realitas sosial yang kompleks (menyederhanakan
realitas sosial yang kompleks) agar dapat ditangkap bagi suatu analisis lebih
lanjut. Artinya, penelitian deskriptif akan ditindaklanjuti dengan
penelitian-penelitian lainnya.[30]
2.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi
data sekunder. Sebagaimana spesifikasi dalam penelitian ini yang merupakan
penelitian normatif, maka sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah
data sekunder sedangkan data primer hanya sebagai penunjang.
a.
Data Primer pada umumnya ada dalam
keadaan siap terbuat
b.
Bentuk maupun isi data
sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.
c.
Data sekunder dapat
diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.
1. Bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum yang mengikat antara lain :
a). Al-Quran dan Hadish
a)
Norma atau kaidah dasar
(Pembukaan UUD 1945);
b)
KUH Perdata
c)
Peraturan
Perundang-Undangan tentang Perkawinan
d)
Rancangan
Undang-Undang.
e)
Bahan hukum yang tidak
dikodifikasikan, misalnya hukum Islam.
f)
Peraturan
Perundangan lain yang terkait dengan penelitian.
2.
Bahan-bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan
yang erat hubungannya dengan bahan hukum Sekunder
dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum Sekunder, yaitu :
a). Buku-buku
Ilmiah yang terkait.
b). Hasil penelitian terkait
c). Hasil
karya ilmiah para Ulama dan Sarjana;
d). Jurnal-jurnal dan literatur
yang terkait.
e) Buku-buku
yang relevan;
f). Hasil-hasil pertemuan
ilmiah (seminar, simposium, diskusi) dan lain-lain.
3.
Bahan hukum tertier,
yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk tentang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus
seperti kamus bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab, ensiklopedia, serta
kamus-kamus keilmuan seperti kamus istilah hukum.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini memusatkan
perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data terutama ditempuh dengan
melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Adapun teknik pengumpulan
data dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis
berupa bendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli, juga untuk memperoleh
informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi
yang ada.[33]
Penelitian ini menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan
utamanya. Kajian pustaka ini dilakukan untuk melihat sejauh mana masalah ini
pernah ditulis atau diteliti oleh orang lain, kemudian akan ditinjau, apa yang
ditulis, bagaimana pendekatan dan metodologinya, apakah ada persamaan atau
perbedaan. Selanjutnya dengan tinjauan pustaka ini penulis dapat menghindari
penulisan yang sama.
4.
Penyajian
Data dan Analisis Data.
Bahan-bahan yang
telah berhail diperoleh atau dikumpulkan selanjutnya akan disajikan secara
selektif dan sistematis. Langkah berikutnya, data tersebut dibahas/dianalisis
dengan metode diskriptif analisis, artinya dari semua bahan hukum yang berhasil
dikumpulkan dipakai untuk menggambarkan permasalahan dan sekaligus pemecahannya
dan dilakukan secara kualitatif normatif, tentang penerapan Prinsip Perkawinan di Indonesia serta mendasarkan pada ajaran-ajaran Islam dilengkapi dengan analisa historis dan komparatif.
DAFTAR PUSTAKA
Aa Nurdiaman, 2007, Pendidikan
Kewarganegaraan kecakapan berbangsa dan bernegara, Pribummi
Mekar, Bandung.
Abdul manan, 2006, Reformasi Hukum Islam di indonesia, penerbit
PT Raja Grafindo
Persada,jakarta,
Abdul salam, 2006,
dalam Mimbar Hukum, Nomor 46 Tahun
2004, Media Group, Jakarta.
Andil Abdul Mun’im
Abu Abbas, 2001, Ketika Menikah Menjadi
Pilihan, Almahira, Jakarta.
Ahdiana Yuni
Lestari dan Endang Heriyani, 2009, Dasar-dasar
Pembuatan Kontrak dan Aqad,
MocoMedia. Yogyakarta.
A Qodri Azizy,
2002, Elektisisme Hukum Nasional, Penerbit
Gama Media, Yogyakarta.
Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali,
Jakarta.
Irwansyah Lubis, 2010, Menggali Potensi Pajak perusahaan dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum, EleX
Media Komputindo, Jakarta.
Janu Murdiyatmoko, 2007, Sosiologi
Memahami dan Mengkaji Masyarakat , Grafindo
Media Pratama, Bandung.
Jacob Vredenbergt, 1983, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat,
Gramedia,
Jakarta.
M. Anshary MK, S.H,
M.H., 2010, Hukum Perkawinan Indonesia,
Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Muhammad Bagir, 2008, Fiqih
Praktis II Menurut Al-Quran As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama,
Karisma, Bandung,
Mohammad Daud Ali,
SH, 2004, Hukum Islam Pengantar Ilmu
Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada,Jakarta.
M.
Nashiruddin Al-Albani, 2008,Ringkasan Shahih
Bukhari. Gema Insani Pres, Jakarta.
Muhammad Shidiq Hasan Khan, 2009, Ensiklopedia Hadis Sahih Kumpulan hadis Tentang Wanita, Hikmah,
Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,
Indonesia.
Sarwiyanto dan kawan-kawan, 2009,Ayo
Belajar Pendidikan Kewarganegaraan PKN, Kanisius,
Yogyakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986,Penelitian
Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta
SoerjonoSoekanto, 2005,Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Syaikh Salim bin ‘Ied, 2005,Ensiklopedi
Larangan Menurut Al-Qur’an dan As- Sunnah, Pustaka
Imam Asy-Syafi’I, Bogor.
Merdeka, Faktor-faktor
Penyebab Kawin Kontrak, 07 Agustus 2007, http://www.merdeka.com
diakses pada 7-11-2013 pukul 07.15.
Purwadi, Kontraversi
Kawin Kontrak, 03 Maret 2009, http://.advokatpurwadi.blogspot.com/2009/03/kontraversi-kawin kontrakbagaimana.html?=1,(diakses pada
hari Rabu,09-10-2013 09:25.am).
Syakhsiyah Pernikahan yang ada di masyarakat , 8 januari
2009, http://syakhsiyah.wordpress.com/tentang-nikah/
diakses pada 2-11-2012 pukul
07.35
Tecky Waskito, Kawin
Kontrak dalam Pandangan Hukum, 21 januari 2011, http://teckywaskito.wordpress.com/2011/01/21/kawin-kontrak-dalam- pandangan-hukum/
diakses pada 2-11-2013
pukul 03.10.
Tempo, Anak Hasil
Kawin Kontrak , 05 Maret 2012, m.tempo.co/read/news/2012/03/05/063388084/anak-hasil-kawin-kontrak- punya-hak.diakses
pada 8-11-2013 pukul 03.51.
Pasal 29
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
[2][2] Ahdiana Yuni Lestari, Endang Heriyani, 2009, Dasar-dasar Pembuatan Kontrak dan Aqad,
Yogyakarta, MocoMedia, hlm. 4.
[3]http://.advokatpurwadi.blogspot.com/2009/03/kontraversi-kawin-kontrakbagaimana.html?=1,(diakses
pada hari Rabu,09-10-2013 09:25.am)
[6] m.tempo.co/read/news/2012/03/05/063388084/anak-hasil-kawin-kontrak-punya-hak.diakses pada 8-11-2013 pukul 03.51.
[7]http://.advokatpurwadi.blogspot.com/2009/03/kontraversi-kawin-kontrakbagaimana.html?=1,(diakses
pada hari Rabu,09-10-2013 09:25.am).Loc.Cit.
[8] Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI tahun 1945
disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam Negara
[9] Lihat uraian
Abdul manan,2006,Reformasi Hukum Islam di
indonesia, penerbit PT Raja Grafindo Persada,jakarta,halaman 96.
[11] Lihat Prof.
DR. Mohammad Daud Ali, SH, 2004, Hukum
Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit Raja
Grafindo Persada Jakarta, Halaman 46, 48. Lihat pula DR. A Qodri Azizy, 2002, Elektisisme Hukum Nasional, Penerbit
Gama Media, Yogyakarta, Halaman 47-48.
[12]
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II Menurut
Al-Quran As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, (Karisma, Bandung, 2008)Hal
117.
[13]
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan
Shahih Bukhari. (Gema Insani Pres, Jakarta, 2008), hal 424.
[14]
Syaikh Salim bin ‘Ied, Ensiklopedi
Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Bogor,
2005), hal 26.
[15]Muhammad
Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadis
Sahih Kumpulan hadis Tentang Wanita, (Hikmah, Jakarta, 2009), hal 348.
[16]
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika
Menikah Menjadi Pilihan, (Almahira, Jakarta, 2001), hal 52.
[17]
Aa Nurdiaman, Pendidikan Kewarganegaraan
kecakapan berbangsa dan bernegara, (Pribummi Mekar, Bandung, 2007), hal 4.
[18]Sarwiyanto
dan kawan-kawan, Ayo Belajar Pendidikan
Kewarganegaraan PKN, (Kanisius, Yogyakarta, 2009), hal 49.
[19]Janu
Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan
Mengkaji Masyarakar, (Grafindo Media Pratama, Bandung, 2007), hal 52.
[20]
Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak
perusahaan dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum, (EleX Media Komputindo,
Jakarta, 2010), hal 3.
[21]
http://teckywaskito.wordpress.com/2011/01/21/kawin-kontrak-dalam-pandangan-hukum/
diakses pada 2-11-2013
pukul 03.10.
[22] Pakar hukum islam membedakan Pengertian istilah Syari’ah
dan fikih. Syari’ah diartikan identik dengan wahyu dan merupakan hal yang
absolut, Prof. DR. Mohammad Daud Ali memberi istilah dengan hukum dasar bentuk
Al-Qur’an dan hadis Nabi. Sedangkan fikih adalah hasil ijtihad fuqaha dalam memahami hukum-hukum yang terdapat daam
Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
[23]http://.advokatpurwadi.blogspot.com/2009/03/kontraversi-kawin-kontrakbagaimana.html?=1,(diakses
pada hari Rabu,09-10-2013 09:25.am). Loc.Cit.
[25] Penelitian Hukum
Normatif terdiri dari : 1). Penelitian terhadap azas-azas hukum; 2). Penelitian
terhadap sistematika; 3). Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan
Horizontal; 4). Perbandingan hukum; 5). Sejarah hukum. Liat Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta,
Rajawali, 1986, hal 15.Sedangkan Soetandyo Wignjosoebroto menggunakan istilah
penelitian hukum doctrinal. Penelitian ini terdiri dari: 1). Penelitian yang
berupa usaha inventarisasi hukum positif; 2). Penelitian yang berupa usaha
penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif; 3).
Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in
concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum
tertentu. Lihat Bambang Sunggono, Metodologi
Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta,
1998, Hal 43.
[26] Ronny Hanitijo menggolongkan
data sekunder dibidang Hukum menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tertier. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, 1994, Hal 11-12
[27] SoerjonoSoekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005, hal. 10
[28] Jacob Vredenbergt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat,
Gramedia, Jakarta,
1983, hal. 33-37.
[29] Menurut Soerjono
Soekanto Hipotesis tidak mutlak harus ada dalam penelitian. Bila suatu penelitian
bertujuan memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain, hipotesis
barulah diperlukan. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal 147.
[31] Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta,
1986, hal 28
[32] Ronny Hanitijo
Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Ghalia, Indonesia, 1994, Hal 98.
0 komentar:
Posting Komentar