Sabtu, 05 April 2014

FENOMENA KAWIN KONTRAK TERHADAP AKIBAT HUKUM DAN DAMPAKNYA PADA KEDUDUKAN HAK WANITA.



1.        Latar Belakang.
(General Statement) Perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1).Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. dan (2)Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Umumnya Perkawinan merupakan sesuatu yang sudah menjadi kodrat manusia, dimana perkawinan bertujuan untuk membentuk mahligai rumah tangga yang bahagia dan kekal serta sejahtera lahir maupun batin sesuai dengan yang dicita-citakan.
 Perjanjian Perkawianan dalam Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar_batas-batas_hukum_agama_dan_kesusilaan.
     Dari uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,_tidak_membenarkan_adanya_kawin=kontrak.[1]
Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian, tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk
_sahnya_suatu_perjanjian_diperlukan_4_syarat:
1._Sepakat_mereka_yang_mengikatkan_dirinya.
2._Kecakapan_untuk_membuat_suatu_perikatan.
3._Suatu_hal_tertentu
4.­_Suatu-sebab-yang-halal.

Sedikit membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang
_(Pasal_1332_BW)_dan_bukan_perasaan,_sebagimana dimaksudkan_dalam_klausula_kawin_kontrak_pada_umumnya".[2]
     Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab_yang_palsu_atau_terlarang_tidak_mempunyai-kekuatan.[3]

(Thesis Statement) Namun demikian, kenyataannya dalam masyarakat ada yang menyalahgunakan perkawinan tersebut yaitu beberapa wanita yang melakukan kawin kontrak. Mengapa kawin kontrak marak terjadi di Indonesia? Tentu banyak faktor penyebabnya. Selain faktor materi (uang) dan faktor syahwat, juga ada faktor longgarnya sistem hukum di Indonesia. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pelaku kawin kontrak tidak dianggap melanggar hukum, karena pasangan kawin kontrak dianggap melakukan akad nikah beneran secara sadar dan atas dasar suka sama suka. Biasanya yang dilaporkan kepada polisi bukan kasus kawin kontraknya itu sendiri, tapi hal-hal lain yang terjadi dalam kawin kontrak. Misalnya, ketika ada kasus suami memukul isteri, atau isteri menuntut karena bayaran yang dijanjikan suami kurang, dan sebagainya.[4]

(Supporting Idea) Karena itu akibat Hukumya  Perkawinan ini banyak berdampak dapat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, Secara hukum perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini. Karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, secara sosial, sang istri sulit bersosialisasi karena telh dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan Perkawinan ( alias kumpul kebo) atau istri simpanan, tidak sahnya perkawinan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. satus anak dianggap sebagai anak tidak sah. Hanya memiliki hubugan perdata dengan ibunya itu.
karena pelaku kawin kontrak tidak dicatatkanya perkawinan (pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974) 1. Perkawinan dianggap tidak sah dimata negara jika belum dicatatkan oleh kantor urusan agama atau catatan sipil. 2.Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu dan keluarga Ibu(pasal 42 dan 43 undang-undang Perkawinan). 3. Anak dan Ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Dampaknya kedudukan dan haknya adalah baik istri maupun Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari Ayahnya . Namun demikian, Makamah Agung RI mengabulkan gugatan nafkah bagi anak  hasil hubungan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.[5]  Dan Makamah Konstitusi menyatakan meskipun masa kawin kontrak sudah habis, namun hubungan perdata dengan ayahnya tetap ada.namun harus membuktiakan dahulu di pengadilan bahwa pernah terjadi kawin kontrak dan ada anak yang hadir dari kawin kontrak tersebut, “harus dibuktikan dulu di pengadilan “karena waktu perkawinan terjadi kan ada saksinya dan alat buktinya. Jika kemudian si ayah tidak mmengakui nantinya bisa dilakukan tes DNA. Mahfud mengatakan aturan diatas bertujuan agar tidak ada anak yang menderita karena perbuatan tidak bertanggung jawab dari seorang laki-laki atau perempuan.[6]




2.        Permasalahan
1.         Bagaimana aturan Hukum terhadap Kawin Kontrak?
2. Apakah akibat Hukum yang muncul akibat perkawinan ini, seperti status  perkawinan, Anak, dan Warisan?


5.   Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aturan Hukum dari Kawin Kontrak.
2. Mengetahui tentang bagaimana Kawin kontrak itu terjadi.





6.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan khususnya tentang kawin kontrak sesuai dengan Undang-undang di Indonesia.
2. Manfaat Praktis 
            Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi permasalahan hukum khususnya tentang Perkawinan Yang menyimpang. Selain itu dapat dijadikan Sebagai acuan penelitian lebih lanjut.















7.Tinjauan Pustaka
            1.a. Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan dari suatu aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tentu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut.[7]

            b. Dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan jelas disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi apa sebenarnya tujuan perkawinan. Namun demikian seperti yang dikatakan diatas bahwa keluarga terdiri dari dua individu, dan dari dua individu ini mungkin berbeda tujuan, maka hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang cukup mendalam.
            c. Perkawinan dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga  yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridhloi Allah SWT.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.[8]
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.[9]
Pernikahan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
2.a. Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat tanpa berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal ibadah.
            Mengapa kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al Qur`an maupun Al Hadits tentang pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu tertentu. Pernikahan dalam Al Qur`an dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu maksudnya untuk jangka waktu selamanya, bukan untuk jangka waktu sementara. Maka dari itu, melakukan kawin kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu hukumnya tidak sah, karena bertentangan ayat Al Qur`an dan Al Hadits yang sama sekali tidak menyinggung batasan waktu.
            Perlu diketahui ada hukum-hukum Islam yang dikaitkan dengan jangka waktu, misalnya masa pelunasan utang piutang  (QS Al Baqarah : 282); juga masa iddah, yaitu masa tunggu wanita yang dicerai (QS Al Baqarah : 231). Hukum-hukum Islam yang terkait waktu ini, otomatis pelaksanaannya akan berakhir jika jangka waktunya selesai. Namun hukum Islam tentang nikah, tidak dikaitkan dengan jangka waktu sama sekali. Kita bisa membuktikannya dengan membaca ayat-ayat yang membicarakan nikah, seperti QS An Nisaa` : 3;  QS An Nuur : 32; dan sebagainya. Ayat-ayat tentang nikah seperti ini sama sekali tidak menyebutkan jangka waktu. Maka perkawinan dalam Islam itu dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu tidak dilakukan untuk sementara waktu tetapi untuk selamanya (abadi).[10]
 Selain ayat-ayat Al Qur’an tersebut, keharaman kawin kontrak juga didasarkan hadits-hadits yang mengharamkan kawin kontrak (nikah mut’ah). Memang kawin kontrak pernah dibolehkan untuk sementara waktu pada masa awal Islam, tapi kebolehan ini kemudian di-nasakh (dihapus) oleh Rasulullah SAW pada saat Perang Khaibar sehingga kawin kontrak hukumnya sejak itu haram sampai Hari Kiamat nanti. Rasulullah SAW bersabda,”Wahai manusia, dulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan kawin kontrak (mut’ah). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga Hari Kiamat…(HR. Muslim).  Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata kepada Ibnu Abbas RA,” Pada saat perang Khaibar, Rasulullah SAW melarang kawin kontrak (mut’ah) dan (juga melarang) memakan daging himar (keledai) jinak.” (HR. Bukhari dan Muslim).[11]
             Perjanjian Perkawianan Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian_tersebut_tidak_dapat_disahkan_bilamana_melanggar_batas-batas_hukum_agama_dan_kesusilaan.
     Kawin kontrak secara yuridis
Makna Yuridis dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan : Menurut hukum. Kawin kontrak yang akan saya bahas adalah berdasar dasar yuridis Islam atau menurut dasar hukum Islam. Karena permasalahan yang banyak dibahas dalam buku-buku dan memang perdebatan di masyarakat sendiri mencakup boleh tidaknya berdasar hukum agama.
Nikah mut’ah atau di Indonesia sering disebut nikah kontrak, nikah sementara waktu atau nikah terputus, merupakan masalah dan salah satu titik rawan dalam hubungan antara dua kelompok: Ahlus-Sunnah dan Syiah. Yang satu mengharamkannya secara mutlak dan yang lainnya menghalalkannya secara mutlak.[12]

        Dalam pandangan Yuridis Ahlus-Sunnah
Ahlus-Sunnah memberikan hukum terhadap praktek nikah mut’ah dengan hukum haram, ini berdasarkan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah. Seperti riwayat Hadits dibawah ini, memberikan penjelasan bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Muhammad bin Ali meriwayatkan bahwa Ali (pernah diberi tahu oleh seorang bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah, maka dia berkata kepada Ibnu Abbas,”Sesungguhnya Nabi SAW melarang nikah mut’ah dan melarang (memakan) daging kedelai pada waktu perang Khaibar.”[13]
Diriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW melarang nika mut’ah. Rasulullah SAW bersabda: “ Ketahuilah, sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai sekarang sampai hari Kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni upah), maka janganlah ia mengambilnya kembali.”[14]
Jabir bin Abdullah menceritakan , “Pada suatu hari, kami pernah melakukan nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar hingga akhirnya pada masa Umar dilarang karena kasus Amr bin Huraits,” (HR. Muslim).[15]
Dari hadits diatas dijelaskan bahwa dilarangnya nikah mut’ah kerena kasus Arm bin Huraits, namun terus terang saya sendiri tidak menemukan kasus seperti apa yang terjadi dengan Arm bin huraits dalam buku-buku yang saya baca. Sehingga apabila pembaca memiliki jawaban, saya akan sangat senang menerimanya. Kembali kepada pembahasan nikah mut’ah, saya juga menambahkan beberapa hadits lagi yang berkenaan dalam larangan nikah mut’ah, seperti dibawah ini.
Dari Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya pernah berperang barsama Rasulullah SAW pada waktu pembebasan Kota Mekah, dia berkata,, “kami menetap di Mekah selama lima belas hari. Lantas, Rasulullah SAW mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan cara mut’ah. Kemudian, aku dan seorang pria dari kaumku yang tidak terlalu tampan bahkan hamper berwajah buruk keluar dengan mengenakan pakaian. Pakaianku agak lusuh dan pakaian sepupuku baru dan menarik. Sehingga pada saat kami berada di bagian utara atau selatan Mekah, kami bertemu dengan seorang gadis perawan yang tinggi semampai. Kami bertanya, “Apakah engkau mau melakukan nikah mutah dengan salah satu dari kami?” wanita itu bertanya,” Apa yang akan kalian berikan?” Lalu masing-masing kami menebarkan pakaian. Aku membuatnya melihat kepada dua kaki sedangkan temanku membuatnya menatap ke ketiaknya, sambil berkata, “sesungguhnya baju ini lusuh sedangkan bajuku masih baru mentereng.” Tetapi wanita itu berkata, “Tidak masalah melakukan nikah mut’ah bersamanya sebanyak tiga kali atau dua kali.” Kemudian aku melakukan nikah mut’ah dengannya. Aku tidak pernah keluar sampai nikah mut’ah diharamkan oleh Rasulullah SAW.” (HR. Muslim).[16]

Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa Sabrah telah melakukan pernikahan mut’ah, namun pada akhirnya dia meninggalkan pernikahan itu berdasarkan kalimat yang ada di hadits itu, “Aku tidak pernah keluar sampai nikah mut’ah diharamkan oleh Rasulullah SAW.” Itu artinya Rasulullah SAW akhirnya melarang nikah mut’ah.

     Kawin kontrak secara normatif
            Makna kata norma dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan tingkah laku yang sesuai dan berterima, aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.
Didalam kehidupan masyarakat terdapat empat macam norma, yaitu norma kesopanan, norma kesuliaan, norma agama, dan norma hukum.[17]
        Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah aturan tingkah laku yang berlaku dimasyarakat. Jika melanggar norma kesopanan, kita tidak akan dihargai atau dihormati orang lain. Kita bahkan dicemooh oleh orang lain.[18]
Dalam masalah nikah mut’ah yang sedang kita bahas dengan pijakan sudut pandang norma kesopanan memang antara satu daerah dengan daerah lain memiliki perbedaan sudut pandang persepsi. Dalam masyarakat yang notabennya hamper tidak ada praktek nikah mut’ah, mereka akan menganggap seorang yang melakukannya sebagai seorang yang telah menyimpang dan mendapat ketidak berhargaan didalm masyarakat itu. Mungkin mereka akan memandangnya sebagai salah satu bentuk lain dari pelacuran.
Sedang dalam masyarakat yang dalam kehidupan bermasyarakatnya sudah biasa terjadi pernikahan dengan cara mut’ah, mereka akan memandangnya secara kesopanan biasa saja. Itu merupakan perbuatan yang biasa dilakukan dan bukan merupakan perilaku menyimpang. Seperti halnya yang terjadi di daerah pucak bogor. Pembangunan perumahan mewah didaerah puncak menghadirkan tempat nyaman untuk beristri dan beristirahat bagi orang-orang luar Indonesia. Dengan keadaan yang nyaman ini mereka juga melakukan kawin kontrak dengan para gadis setempat. Namun dalam norma kesopanan mereka itu adalah hal yang biasa dan kadang merupakan sebuah langkah kepahlawanan bagi keluarganya yang dilanda miskin.
Sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini secara norma kesopanan nikah mut’ah itu bersifat relative terhadap struktur masyarakat. Karena setiap golongan masyarakat memiliki pendangan kesopanan tersendiri berhubungan dengan masalah nikah mut’ah.

        Norma Kesusilaan
            Norma sesusilaan adalah salah satu aturan yang berasal dari akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk.[19]
Secara hati nurani sebenarnya kawin kontrak ini ditentang. Namun banyaknya kasus yang terjadi mempunyai latar belakang karena kebutuhan uang yang mendesak. Dengan alasan inilah masyarakat tidak menghukumi mereka para pelaku nikah mut’ah adalah orang yang memiliki akhlak yang buruk, karena mereka biasanya menikah karena dorongan uang untuk keluarganya.

      

 Norma Agama
            Norma agama adalah peraturan hidup yang merupakan perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan.[20]
Dalam pandangan norma agama, sesungguhnya sudah dijelaskan di bagian kawin kontrak secara yuridis. Disanan dijelaskan bahwa agama Islam menghukumi nikah mut’ah ini dengan dua hukum pada dua golongan yang bertentangan. Pertama goolongan Ahlu Sunnah wa al jamaah, mereka menghukuminya dengan haram sampai hari kiamat. Yang kedua dari golongan Syi’ah, mereka menghukumi boleh melakukan nikah mut’ah, bahkan menjadikan dasar mereka dalam beragama.

        Norma hukum
            b. Didalam Pasal 1 UU No.1/1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Berdasarkan pasal ini maka jelas terjadinya kawin kontrak bertentangan dengan filosofis tujuan perkawinan.
            Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah,perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.[21]
Dari serangkaian peraturan ini, ada kalimat suatu sebab yang tidak terlarang. Sehingga bisa dikatakan sebenarnya pernikahan kontrak telah melanggar hukum positif kita. Walaupun padam pasal tidak ditemukan pasal kusus mengenai permasalahan kawin kontak.
            Sedikit membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang (Pasal 1332 BW) dan bukan perasaan, sebagimana dimaksudkan dalam klausula kawin kontrak­_pada_umumnya".
            Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai-kekuatan.
            Akibat perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan hukum tidak akan mendapat pengakuan dan tidak dilindungi oleh hukum. tindakan tidak mencatatkan perkawinan, walaupun pekawinan sudah dilakukan sesuai denagan ajaran Islam, Dianggap telah melakukan penyelundupan hukum, alias tidak taat hukum. karena indonesia adalah negara hukum, dan segenap bangsa Indonesia harus tunduk kepada hukum yang berlaku di indonesia. Undang-undang  Nomor 1 tahun 1974 adalah negara Indonesia yang mengatur tentang perkawinan. Maka sejak di undangkanya Undang-undang itu karena sifatnya yang memaksa, oleh karenanya harus ditaati dan dijalankan.
            Maka dari penjelasan diatas jelas bahwa pelaku perkawinan yang tidak sah tidak memiliki hak-hak dimana akan merugikan Perempuan dan apa lagi bila memiliki anak, yang berakibat tidak akan ada perlindungan secara apapun secara hukum, karena tidak sahnya perkawinan maka tidak adanya pengesahan  baik akte nikah, KTP atau KK bisa di dapatkan pengesahan status, berakibat pada anak yang dilahirkan di perkawinan ini seperti akte lahirnya tidak ada dan tidak jelasnya seperti dapat atau tidaknya warisan.
            Kejelasan status perkwinan suami istri melalui bukti otentik tentang perkawinan mereka, menjadi landasan bagi kejelasan status hukum seorang anak. Misalnya untuk pengurusan akta kelahiran anak, landasanya adalah surat nikah. Jika suami-istri tersebut tidak pernah mencatatkan perkawinanya, maka ketika lahir anak dan memerlukan akta kelahiran, kantor kependudukan tidak akan mengeluarkan akta kelahiran dimaksud.
            Begitu pula  kejelasan terhadap status pasangan suami-istri yang telah habis masa kontraknya. Hukum tidak akan melindungi suami atau istri yang telah ditinggal karena kontraknya habis terhadap harta warisan yang  dikuasai oleh saudara atau orang tua si kontrak. Tidak dapat mengajukan gugatan secara hukum ke Pengadilan Agama/ Makamah Syar’iyah untuk meminta harta peninggalan almarhum difaraidhkan. Jika sekiranya meninggal seorang istri, sedangkan harta bersama dengan suami dikuasai oleh saudara-saudara istri. Suami menuntut pembagian harta bersama dan bagian harta warisan dari harta warisan istrinya almarhumah. Hukum tidak melindungi hak-hak suami oleh karena suami statusnya tidak diakui oleh hukum.[22]
Dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara, kejelasan status seseorang sebagai suami atau sebagai istri merupakan suatu keharusan. Kepastian status itu dapat dilihat dari bukti perkwinan mereka, dalam bentuk akta perkawinan. Sebaliknya, suami istri yang tidak mempunyai akta perkawinan sebagai akibat pekawinanya tidak dicatatkan, tidak memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan mereka.
            Jadi dengan dilakukanya perkawinan dibawah tangan/perkawinan tidak dicatatkan, maka perkawinan semacam itu tidak mempunyai akibat dan konsekuensinya hukum terhadap kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak suami istri, kejelasan terhadap hak anak, dan kewajiban orang tua terhadap anak,dan kejelasan untuk mendapatkan hak-hak sipil masyarakat dalam layanan publik.
            c. Pihak dalam Kawin kontrak : Menurut Venny pihak perempuan dalam kawin kontrak tidak lebih dari sekedar komoditas seks. Kawin kontrak hanya dijadikan alasan dengan menggunakan kedok agama untuk melaksanakan prostitusi terselubung. Selain itu, nasib anak hasil kawin kontrak pun menurut Venny tidak berbeda jauh dengan sang ibu. Hampir pasti si anak tidak akan mendapat warisan apapun. Setelah selesai masa kontrak. Maka anak akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.

Definisi Perkawinan
Menurut Purwadi, S.H Dengan memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin, ini berarti bahwa kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal diatas. Menurut saya sebagai seorang Advokat, kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk_perjanjian_atau_kontrak).
Jelaslah bahwa kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang yang melakukan kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi telah berbuat zina yang merupakan dosa besar dalam Islam. Na’uzhu billahi min dzalik. Allah SWT berfirman (yang artinya),”Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa` [17] : 32).
            Hendaklah kita semua dapat memilih jalan yang benar dan dan diridhoi Allah dalam menyalurkan nafsu seksual kita, yaitu pernikahan yang sah, bukan pernikahan secara kawin kontrak. Kalaupun kawin kontrak itu dapat menghasilkan materi (uang) dan kenikmatan, tapi ingatlah itu hanya sesaat di dunia yang fana ini. Akibatnya di akhirat bukanlah surga, melainkan neraka.  Camkan sabda Nabi Muhammad SAW,”Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan.” (HR Tirmidzi, no 2072, hadits shahih). Wallahu a’lam.
            Dengan memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan  batin, ini berarti bahwa kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal diatas. Menurut saya sebagai seorang Advokat, kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk_perjanjian­_atau_kontrak).

           
Dijelaskan pula didalam penjelasan pasal 1 tersebut bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin (rohani) memiliki peranan penting. Memiliki keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturuanan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan_dan_pendidikan,_menjadi_hak_dan_kewajiban_orang_tua.[23]
3a. Perkawinan ini banyak berdampak dapat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, Secara hukum perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini. Karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, secara sosial, sang istri sulit bersosialisasi karena telh dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan Perkawinan ( alias kumpul kebo) atau istri simpanan, tidak sahnya perkawinan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. satus anak dianggap sebagai anak tidak sah. Hanya memiliki hubugan perdata dengan ibunya itu.
b. karena pelaku kawin kontrak tidak dicatatkanya perkawinan (pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974)
1. Perkawinan dianggap tidak sah dimata negara jika belum dicatatkan oleh    kantor urusan agama atau catatan sipil.
2.Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu dan keluarga  Ibu (pasal   42 dan 43 undang-undang Perkawinan).
3. Anak dan Ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Dampaknya kedudukan dan haknya adalah baik istri maupun Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari Ayahnya . Namun demikian, Makamah Agung RI mengabulkan gugatan nafkah bagi anak  hasil hubungan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.[24]
 c. Dan Makamah Konstitusi menyatakan meskipun masa kawin kontrak sudah habis, namun hubungan perdata dengan ayahnya tetap ada.namun harus membuktiakan dahulu di pengadilan bahwa pernah terjadi kawin kontrak dan ada anak yang hadir dari kawin kontrak tersebut, “harus dibuktikan dulu di pengadilan “karena waktu perkawinan terjadi kan ada saksinya dan alat buktinya. Jika kemudian si ayah tidak mmengakui nantinya bisa dilakukan tes DNA. Mahfud mengatakan aturan diatas bertujuan agar tidak ada anak yang menderita karena perbuatan tidak bertanggung jawab dari seorang laki-laki atau perempuan.


           
8.Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan yaitu :
Deskripsi yang lebih terperinci mengenai objek dan metode penelitian pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a.       Metode Pendekatan
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif [25], yang oleh beberapa penulis buku penelitian “hukum normatif” dipahami sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder[26].
1.         Jenis dan Sumber Data
Penelitian Penelitian ini dikategorikan penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang mendeskriptifkan secara terperinci hasil analisis mengenai asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.[27]
Vredenbergt membagi tipe-tipe penelitian kedalam tiga tipe, yaitu : 1). Penelitian eksploratif (exploratory research); 2). Penelitian yang menguji satu atau beberapa hipotesis (testing research); dan 3). Penelitian deskriptif (descriptive research)[28]. Terkait dengan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini akan dilakukan tanpa didahului perumusan hipotesis. Hipotesis adalah pernyataan tentang hubungan antara dua variable atau lebih dan selali dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Dapat saja suatu hipotesis diperlukan dalam suatu penelitian deskriptif yang bertujuan memperoleh data tentang hubungan suatu gejala dengan gejala lainnya.[29]
Menurut Vredenbergt, tujuan penelitian deskriptif ialah melukiskan realitas sosial yang kompleks (menyederhanakan realitas sosial yang kompleks) agar dapat ditangkap bagi suatu analisis lebih lanjut. Artinya, penelitian deskriptif akan ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian lainnya.[30]
2.         Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Sebagaimana spesifikasi dalam penelitian ini yang merupakan penelitian normatif, maka sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah data sekunder sedangkan data primer hanya sebagai penunjang.
Dalam metodologi riset, data Primer yang berupa bahan pustaka memiliki ciri umum antara lain[31]:
a.         Data Primer pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat
b.        Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.
c.         Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.
Data Primer yang digunakan meliputi[32]:
1.      Bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum yang mengikat antara lain :
   a). Al-Quran dan Hadish
a)      Norma atau kaidah dasar (Pembukaan UUD 1945);
b)   KUH Perdata
c)    Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan
d)   Rancangan Undang-Undang.
e)    Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum Islam.
f)    Peraturan Perundangan lain yang terkait dengan penelitian.
2.      Bahan-bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum Sekunder dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum Sekunder, yaitu :
a). Buku-buku Ilmiah yang terkait.
b). Hasil penelitian terkait
c). Hasil karya ilmiah para Ulama dan Sarjana;
d). Jurnal-jurnal dan literatur yang terkait.
e) Buku-buku yang relevan;
f). Hasil-hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium, diskusi) dan                  lain-lain.
3.         Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus seperti kamus bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab, ensiklopedia, serta kamus-kamus keilmuan seperti kamus istilah hukum.
3.         Teknik Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa bendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli, juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada.[33]
Penelitian ini menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utamanya. Kajian pustaka ini dilakukan untuk melihat sejauh mana masalah ini pernah ditulis atau diteliti oleh orang lain, kemudian akan ditinjau, apa yang ditulis, bagaimana pendekatan dan metodologinya, apakah ada persamaan atau perbedaan. Selanjutnya dengan tinjauan pustaka ini penulis dapat menghindari penulisan yang sama.
4.         Penyajian Data dan Analisis Data.
Bahan-bahan yang telah berhail diperoleh atau dikumpulkan selanjutnya akan disajikan secara selektif dan sistematis. Langkah berikutnya, data tersebut dibahas/dianalisis dengan metode diskriptif analisis, artinya dari semua bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dipakai untuk menggambarkan permasalahan dan sekaligus pemecahannya dan dilakukan secara kualitatif normatif, tentang penerapan Prinsip Perkawinan di Indonesia  serta mendasarkan pada ajaran-ajaran Islam dilengkapi dengan analisa historis dan komparatif.


DAFTAR PUSTAKA

Aa Nurdiaman, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan kecakapan berbangsa dan                 bernegara, Pribummi Mekar, Bandung.
Abdul manan, 2006, Reformasi Hukum Islam di indonesia, penerbit PT Raja           Grafindo Persada,jakarta,
Abdul salam, 2006, dalam Mimbar Hukum, Nomor 46 Tahun 2004, Media Group,             Jakarta.
Andil Abdul Mun’im Abu Abbas, 2001, Ketika Menikah Menjadi Pilihan,  Almahira, Jakarta.
Ahdiana Yuni Lestari dan Endang Heriyani,  2009,  Dasar-dasar Pembuatan         Kontrak dan Aqad,  MocoMedia. Yogyakarta.
A Qodri Azizy, 2002, Elektisisme Hukum Nasional, Penerbit Gama Media,            Yogyakarta.
Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum,   Rajawali, Jakarta.
Irwansyah Lubis, 2010, Menggali Potensi Pajak perusahaan dan Bisnis Dengan    Pelaksanaan Hukum, EleX Media Komputindo, Jakarta.  
Janu Murdiyatmoko, 2007, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat            , Grafindo Media Pratama, Bandung.
Jacob Vredenbergt, 1983, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia,                Jakarta.
M. Anshary MK, S.H, M.H., 2010, Hukum Perkawinan Indonesia, Pustaka            Pelajar, Yogyakarta.
Muhammad Bagir, 2008, Fiqih Praktis II Menurut Al-Quran As-Sunnah dan           Pendapat Para Ulama, Karisma, Bandung,
Mohammad Daud Ali, SH, 2004, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata             Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada,Jakarta.
M. Nashiruddin Al-Albani, 2008,Ringkasan Shahih Bukhari. Gema Insani Pres,     Jakarta.
Muhammad Shidiq Hasan Khan, 2009, Ensiklopedia Hadis Sahih Kumpulan          hadis Tentang Wanita, Hikmah, Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,         Ghalia, Indonesia.
Sarwiyanto dan kawan-kawan, 2009,Ayo Belajar Pendidikan Kewarganegaraan    PKN, Kanisius, Yogyakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986,Penelitian Hukum Normatif, Suatu        Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta
SoerjonoSoekanto, 2005,Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas           Indonesia, Jakarta.
Syaikh Salim bin ‘Ied, 2005,Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-      Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Bogor.
Merdeka, Faktor-faktor Penyebab Kawin Kontrak, 07 Agustus 2007,          http://www.merdeka.com diakses pada 7-11-2013 pukul 07.15.
Purwadi, Kontraversi Kawin Kontrak, 03 Maret 2009,             http://.advokatpurwadi.blogspot.com/2009/03/kontraversi-kawin                              kontrakbagaimana.html?=1,(diakses pada hari Rabu,09-10-2013         09:25.am).
Syakhsiyah Pernikahan yang ada di masyarakat , 8 januari 2009,      http://syakhsiyah.wordpress.com/tentang-nikah/ diakses pada 2-11-2012          pukul 07.35
Tecky Waskito, Kawin Kontrak dalam Pandangan Hukum, 21 januari 2011,             http://teckywaskito.wordpress.com/2011/01/21/kawin-kontrak-dalam-         pandangan-hukum/ diakses pada 2-11-2013 pukul 03.10.

Tempo, Anak Hasil Kawin Kontrak , 05 Maret 2012,            m.tempo.co/read/news/2012/03/05/063388084/anak-hasil-kawin-kontrak-   punya-hak.diakses pada 8-11-2013 pukul 03.51.



[1] Lihat Drs. H. M. Anshary MK, S.H, M.H., Hukum Perkawinan Indonesia, halaman 20
  Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
[2][2] Ahdiana Yuni Lestari, Endang Heriyani, 2009, Dasar-dasar Pembuatan Kontrak dan Aqad, Yogyakarta, MocoMedia, hlm. 4.
[4] http://www.merdeka.com diakses pada 7-11-2013 pukul 07.15.
[5] http://syakhsiyah.wordpress.com/tentang-nikah/ diakses pada 2-11-2012 pukul 07.35.
[6] m.tempo.co/read/news/2012/03/05/063388084/anak-hasil-kawin-kontrak-punya-hak.diakses pada 8-11-2013 pukul 03.51.
[8] Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI tahun 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam Negara
[9] Lihat uraian Abdul manan,2006,Reformasi Hukum Islam di indonesia, penerbit PT Raja Grafindo Persada,jakarta,halaman 96.

[10] Lihat Abdul salam, dalam Mimbar Hukum,Nomor 46 Tahun 2004, halaman 6
[11] Lihat Prof. DR. Mohammad Daud Ali, SH, 2004, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada Jakarta, Halaman 46, 48. Lihat pula DR. A Qodri Azizy, 2002, Elektisisme Hukum Nasional, Penerbit Gama Media, Yogyakarta, Halaman 47-48.
[12] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Quran As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, (Karisma, Bandung, 2008)Hal 117.
[13] M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari. (Gema Insani Pres, Jakarta, 2008), hal 424.
[14] Syaikh Salim bin ‘Ied, Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Bogor, 2005), hal 26.
[15]Muhammad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadis Sahih Kumpulan hadis Tentang Wanita, (Hikmah, Jakarta, 2009), hal 348.
[16] Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Menjadi Pilihan, (Almahira, Jakarta, 2001), hal 52.
[17] Aa Nurdiaman, Pendidikan Kewarganegaraan kecakapan berbangsa dan bernegara, (Pribummi Mekar, Bandung, 2007), hal 4.
[18]Sarwiyanto dan kawan-kawan, Ayo Belajar Pendidikan Kewarganegaraan PKN, (Kanisius, Yogyakarta, 2009), hal 49.
[19]Janu Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakar, (Grafindo Media Pratama, Bandung, 2007), hal 52.
[20] Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak perusahaan dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum, (EleX Media Komputindo, Jakarta, 2010),  hal 3.
[22] Pakar hukum islam membedakan Pengertian istilah Syari’ah dan fikih. Syari’ah diartikan identik dengan wahyu dan merupakan hal yang absolut, Prof. DR. Mohammad Daud Ali memberi istilah dengan hukum dasar bentuk Al-Qur’an dan hadis Nabi. Sedangkan fikih adalah hasil ijtihad fuqaha dalam memahami hukum-hukum yang terdapat daam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
[24] http://syakhsiyah.wordpress.com/tentang-nikah/ diakses pada 2-11-2012 pukul 07.35. Loc. Cit.
[25] Penelitian Hukum Normatif terdiri dari : 1). Penelitian terhadap azas-azas hukum; 2). Penelitian terhadap sistematika; 3). Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan Horizontal; 4). Perbandingan hukum; 5). Sejarah hukum. Liat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali, 1986, hal 15.Sedangkan Soetandyo Wignjosoebroto menggunakan istilah penelitian hukum doctrinal. Penelitian ini terdiri dari: 1). Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif; 2). Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif; 3). Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, 1998, Hal 43.
[26] Ronny Hanitijo menggolongkan data sekunder dibidang Hukum menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, 1994, Hal 11-12
[27] SoerjonoSoekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 10
[28] Jacob Vredenbergt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 33-37.
[29] Menurut Soerjono Soekanto Hipotesis tidak mutlak harus ada dalam penelitian. Bila suatu penelitian bertujuan memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain, hipotesis barulah diperlukan. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal 147.
[30] Jacob Vredenbergt, Op. Cit, hal 34
[31] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1986, hal 28
[32] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Indonesia, 1994, Hal 98.
[33] Ibid, hal 24

0 komentar:

Posting Komentar