PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI TERKAIT PENIGGALAN
AKTIFITAS PERUSAHAAN YANG MERUSAK LINGKUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Korporasi dalam sekala besar memberkan arti yang besar
bagi dunia. Mereka ada dimana saja, dan hampir di seluruh aspek kehidupan. Korporasi merupakan istilah yang
biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa
yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan
hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris
dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada
pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan
masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian
yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.Menurut terminologi Hukum Pidana,
bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri,
kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”[1]
Tidak salah, apabila setiap perusahaan berjuang sekeras mungkin menjalankan
roda bisnisnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.Termasuk dalam
menghadapi dunia ekonomi yang sedang bermasalah seperti yang terjadi sekarang
ini. Namun, indikator-indikator ekologi
menunjukkan akibat kebijakan yang salah dari growth mania di kalangan pelaku
bisnis, menyebabkan degradasi lingkungan yang luar biasa. Perlunya upaya
pemeliharaan ekosistem yang menjadi pendukung kehidupan perusahaan harus
ditanamkan sejak perusahaan itu
berdiri (Brown, Eco-Economy, 2000)[2]
Sesuai
dengan hukum alam, pendapatan yang berasal dari pemanfaatan fasilitas akan
berkelanjutan bila daya dukungan alam tersebut dipelihara. Jika daya dukung
lingkungan tersebut rusak, pendapatan masyarakat sekitar akan menurun dan
mereka akan menganggap perusahaan sebagai
penyebabnya.
Pada mulanya orang tidak menerima pertanggung jawaban Korporasi dalam
perkara pidana. Hal ini kareena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti
manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. Kemudian pidana penjara
tidak mungkin di terapkan terhadap korporasi.
Namun, demikian karana adanya dampak negatif yang di timbulkan oleh
kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, yang mengakibatkan kerusakan akibat aktifitas Korporasi yang
tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitar baik yang di sengaja,
kelalaian maupun kealfaan akibatnya merusak dan di tinggalkan begitu saja dan
berdampak buruk bagi masyarakat sekitar yang akhirnya menajdikan pemikiran
untuk mempertanggungjawabkan perkara korporasi dalam perkara pidana.
Karena itu akibatnya dapat terjadi terhadap lingkungan hidup seperti
pencemaran dan pengerusakan di suatu wilayah.
akibat aktifitas yang di tinggalkan oleh korporasi. Yang berdambak buruk
bagi sekitar, Dalam
pandangan tindak pidana lingkungan hidup , di samping pidana denda, terhadap
korporasi dapat dikenai pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau
sebagian tempat usaha, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan
apa yang dilalaikan dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan.
Esensi kerusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup. Yang pada dasarnya makna perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi: perencanaaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharan,
pengawasan, dan penegakan hukum itu hilang. Karena penegakan hukum pidananya
tidak diberlakukan, dan tidak memberi efek jera bagi pelaku badan usaha.
Pemahaman yang salah ini terhadap asas
ultimum remedium, yang menjadi pangkal tolak kegagalan sanksi pidana, terutama
pada tindak pidana korporasi, Tidak pernah ada tindak pidana korporasi sampai
mendapat sanksi pidana oleh aparat penegak hukum. Hal itu dipahami bahwa
penerapan asas ultimum remedium hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air kerusakan, dan
ganggguan. Akibat bekas aktifitas korporasi Hal-hal seperti inilah yang seharusnya
dipahami oleh pengawas lingkungan hidup yakni Badan Lingkungan Hidup, Dinas
Pertambangan, polisi dan penegak hukum lainnya.
Dengan pertimbangan dampak lingkungan hidup
yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat,
perekonomian, pemerintahan daerah dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya,
bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh
bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dalam
penerapan sanksi pidana dan landasan dalam hukum untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.[3]
B.
Permasalahan
1.
Apakah Korporasi
yang karena kelalaianya, kesengajaanya dan kealfaanya yang merusak lingkungan
dapat dipertanggung jawabkan ?
2.
Apakah bisa sebagai
kesalahan Korporasi?
BAB II
C.
PEMBAHASAN
Perkembangan korporasi di Indonesia
dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat, karena sifatnya yang sangat
ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal
lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan
yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai
pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus
dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan.
Akibatnya banyak Korporasi yang baik
kelalaian, kealfaan maupun kesenganjaan tidak memikirkan dampak dari bekas
aktifitas Korporasi, yang merusak lingkungan bahkan dapat menimbulkan korban.
Maka dari itu bagai mana tanggungjawab
korporasi terhadap hal tersebut? Karena banyaknya dampak buruk yang
ditimbulkan.
Kesengajaan_dan_Kealpaan_pada_Korporasi_Apabila suatu badan
hukum dituntut telah melakukan suatu tindak pidana baik yang dilakukan dengan
kesengajaan atau kealpaan, pertanyaan akan timbul apakah dan bagaimanakah badan
hukum/korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan (menselijke psyche), dan
unsur-unsur Psychis (de pyshische bestanddelen), dapat memenuhi unsur
kesengajaan atau “opzet” dan kealpaan?
Sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berbeda jika kesengajaan itu pada kenyataanya terletak dalam politik perusahaan, atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Dalam hubungan ini adanya suatu macam “suasana kejiwaan” (pyscheschklimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kita pada suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (koppelbazen B.V), yang ‘didirikan untuk melakukan kekacauan”. Oleh karena itu , dengan melihat kenyataan tesebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan_perusahaannya. Kejadian tersebut harus diselesaikan dengan konstruksi pertanggung jawaban, kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha, dimana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut.
Sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berbeda jika kesengajaan itu pada kenyataanya terletak dalam politik perusahaan, atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Dalam hubungan ini adanya suatu macam “suasana kejiwaan” (pyscheschklimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kita pada suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (koppelbazen B.V), yang ‘didirikan untuk melakukan kekacauan”. Oleh karena itu , dengan melihat kenyataan tesebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan_perusahaannya. Kejadian tersebut harus diselesaikan dengan konstruksi pertanggung jawaban, kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha, dimana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut.
Seperti dalam kasus terjadinya kecelakaan di
bekas sumur bekas pertambangan batubara,yang ditinggalkan begitu saja di Samarinda
sehingga menimbulkan korban terus berjatuhan dan semua terulang lagi dan sudah
2 tahun sejak 2011 ada 6 bocah kecil meninggal bekas sumur bekas tambang
batubara. Pertama pada
Juli 2011 tiga bocah meninggal, lalu pada Desember 2012 tiga bocah meninggal
lagi. Tapi tidak ada tanggapan pemerintah daerah, tidak ada tersangka, tidak
ada yang kena hukum, mereka cuma berikan uang asuransi saja, seolah
permasalahan bisa tuntas dengan materi,” jelas Kahar ketua Jatam Kaltim tanggal
5 Februari 2013 di Media. ini murni tidak pidana kelalian, dan merujuk pada Kitab Undang Undang
Hukum Pidana, dalam hal ini tindak pidana yang terjadi terkait bidang
pertambangan, unsur kelalian dalam hal ini melakukan upaya kegiatan
pascatambang. Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut
setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di
seluruh wilayah pertambangan.
Pasal
tentang tindak pidana kelalaian merujuk pada Pasal 359 KUHPidana: Barangsiapa
karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun. Pasal ini dijadikan dasar penuntukan terhadap kasus meninggal anak-anak
di bekas lubang sumur pertambangan batubara. Karena kurang hati-hati dan
kelaliaan dari beberapa pihak baik penguasa, pemerintah dan orangtua, telah
menyebabkan kematian bagi anak-anak.
Harus
dipahami dalam tindak pidana kelalaian KUHPidana tidak mengenal pertanggungjawab
korporasi, kecuali terhadap perundang-undangan yang mengatur tersendiri tindak
pidana korporasi. Dalam dalam kasus diatas, harus dilihat bahwa
pertangggungjawaban korporasi pertambang. Untuk tindak pidana korporasi di
bidang pertambangan sebagaimana yang dilakukan oleh suatu badan hukum, merujuk
Pasal 163 UU Minerba, pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana
denda yang dijatuhkan. Juga dalam Pasal 164 UU Minerba, pidana denda bagi badan
hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a) pencabutan izin usaha; dan/atau
b) pencabutan status badan hukum. Hanya dijelaskan hukumannya, namun tindak
pidana yang dilakukan tidak dijelaskan.
Begitu pula terhadap Perusakan lingkungan
hidup hanya memperlakukan sanksi administrasi dan perdata yang berupa ganti
rugi bagi masyarakat setempat, tidak masuk pada ranah terjadi kerusakan
lingkungan hidup yang merubah bentang alam, mengganggu keseimbangan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
Untuk kasus terjadinya kecelakaan di bekas sumur bekas pertambangan
batubara, ini murni tidak pidana kelalian, dan merujuk pada Kitab Undang Undang
Hukum Pidana, dalam hal ini tindak pidana yang terjadi terkait bidang
pertambangan, unsur kelalian dalam hal ini melakukan upaya kegiatan
pascatambang. Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut
setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di
seluruh wilayah pertambangan.[4]
Konsep Pertanggungjawaban
Pidana (criminal responsibility)
Pertanggungjawab
pidana, terdapat aturan tentang penerapan doktrin strict liability dan
vicarious liability. Menurut dokrtin strick liability (pertanggungjawaban
ketat) seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana
tertentu, walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (meas rea). Strict
liability diartikan liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan).
Dalam hal
lingkungan hidup, pertanggungjawaban korporasi ini diatur dalam Pasal 46 UU No.
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang, badan hukum dan/atau
pengurusnya. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa konseskuensi penerapan
ketentuan tentang tentang tanggung jawb korporasi ini harus benar-benar
dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam mengelola
perusahaannya agar tidak melakkan perbuatan yang mengakibatkan pengusaha
dikenakan pidana penjara, disamping perusahaannya dikenakan denda karena telah
terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
usaha dan/atau kegiatannya itu (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkunga
Hidup, 2004 : 60).
Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban
setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan
"berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada
badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab
dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang
saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau
usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup.
Korporasi dapat
mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya
sehari-hari, dengan cara :
- memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
- melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik.
- mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
- memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
- membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang.
- menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban
pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak
lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa direksi
bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan
kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.
Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya
merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah
perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh
karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang
lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin constructive
fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.
demikian direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban
pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini
disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi
kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi
lingkungan hidup[5]
Selain itu juga tidak lepas dari kesalahan Dapat dicelakakan itu bukanlah inti
dari pengertian kesalahan, melainkan akibat dari kesalahan. Sebab hubungan
antara perbuatan dan pelakunya itu selalun mendapat dicela. Dalam hal tersebut,
jelas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana.
Yang menjadi permasalahanya ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila
suatu korporasi dituntut untuk suatu tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga
badan hukum tidak dapat dalam jiwa manusia (meselijke
psyche) dan unsur-unsur pstcis (depsychische
bestanddelen) dapat dikatakan
memiliki kesalahan.
Menurut Suprapto bahwa Korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang
dikemukakanya. Yaitu, bisa didapat kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian
terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu bersifat
individual, karena hal itu mengenai badan sebagai suatu Kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan
kolektif, yang dapa di bebenkan kepada pengurusnya. (Suprapto)
Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada
Korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin
sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan dari setiap orang yang
bertindak utuk korporasi itu, jika di kumpulkan akan dapat merupakan kesalahan
besar dari korporasi itu sendiri.(J.M. van Bemmelen.)
Dengan demikian bahwa korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan
konstruksi bahwa kesalahan tersebut diambil dari para pengurus atau anggota
direksi. Dengan Kontruksi yang demikian, maka penulis bahwa dalam hal ini asas
“tiada pidana tanpa kesalahan”terus berlaku, sepanjang dilakukan oleh
pengurus/(baca:orang); sehingga kalau suatu tindak pidana benar-benar dilakukan
oleh korporasi (pembuat fiktif) maka asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak
berlaku.(A.Z. Abidin)
Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam masalah pertanggung jawaban pidana
korporasi, asas kesalahan masih tetap di pertahankan, tetapi dalam
perkembanganya di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggung
jawaban pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan’’ tidak
mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si
korban di jadikan dasar untuk menuntut pertanggung jawaban pidana pada si
pelaku sesuai dengan adagium “ res ipsa
loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.
Akan tetap bagaimanapun juga asas kesalahan merupakan asas yang funda
mental, yaitu sebagai jaminan adanya hak asasi manusia yang harus di lindungi,
sehingga perlu di pertanyakan samapai sejauh mana pandangan baru yang
menyatakan asas kesalaahan tidak mutlak berlaku, apakah dapat menjamin hak
asasi tersebut. [6]
BAB III
D. KESIMPULAN
Dalam kegiatan korporasi harus melihat dari aspek kesengajaan atau
kelalaian bahkan kealfaan apakah yang dilakukan oleh korporasi, Harus dipahami
dalam tindak pidana kelalaian KUHPidana tidak mengenal pertanggungjawab
korporasi, kecuali terhadap perundang-undangan yang mengatur tersendiri tindak
pidana korporasi.
Pertangggungjawaban korporasi pertambang. Untuk tindak pidana korporasi di
bidang pertambangan sebagaimana yang dilakukan oleh suatu badan hukum, merujuk
Pasal 163 UU Minerba, pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana
denda yang dijatuhkan. Juga dalam Pasal 164 UU Minerba, pidana denda bagi badan hukum dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa: a) pencabutan izin usaha; dan/atau b)
pencabutan status badan hukum. Hanya dijelaskan hukumannya, namun tindak pidana
yang dilakukan tidak dijelaskan .
bahwa dalam masalah pertanggung jawaban pidana korporasi, asas kesalahan
masih tetap di pertahankan, tetapi dalam perkembanganya di bidang hukum, khususnya
hukum pidana yang menyangkut pertanggung jawaban pidana asas kesalahan atau
“asas tiada pidana tanpa kesalahan’’ tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru
ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban di jadikan dasar untuk menuntut
pertanggung jawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium “ res ipsa loquitur”, fakta sudah
berbicara sendiri.
Akan tetap bagaimanapun juga asas kesalahan merupakan asas yang funda
mental, yaitu sebagai jaminan adanya hak asasi manusia yang harus di lindungi, sehingga
perlu di pertanyakan samapai sejauh mana pandangan baru yang menyatakan asas
kesalaahan tidak mutlak berlaku, apakah dapat menjamin hak asasi tersebut.
DATAR PUSTAKA
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggung Jawaban Korporasi, KENCANA,
Jakarta.
Setiyono. 2009 kejahatan korporasi analisis victimologis dan pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana indonesia, Malang. Bayumedia Publishing.
Anya, Pertanggung Jawaban Korporasi,09 maret 2008
http://anya-afrie.blogspot.com/2008/09/pertanggungjawaban-korporasi-dalam.html
(di akses
pada hari sabtu 15-03-2014 pukul 11:50
a.m)
Bismar,
Kejahatan Korporasi, 23 Desember
2009.
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/ (Diakses pada hari sabtu 15-03-2014 10:39.a.m)
Kompassiana,
Pertanggung Jawaban Pidana Penyebab
Wafatnya 6 Anak di bekas Tanbang Batu
Bara. 3 Juli 2011
http://m.kompasiana.com/post/read/594871/3( di akses pada hari Sabtu
15-03-2014 pukul 12:10 p.m)
Sutopoyudo, Pengaruh
Penerapan Corporate Social responsibility Csr Terhadap Profitabilitas
perusahaan, 21 September 2009
http://sutopoyudo.wordpress.com/2009/09/21/pengaruh-penerapan-corporate-social-responsibility-csr-terhadap-profitabilitas-perusahaan/(di akses pada hari sabtu 15-03-2014
pukul 11:10.a.m)
[1] http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/ (Diakses
pada hari sabtu 15-03-2014 10:39.a.m)
[2] http://sutopoyudo.wordpress.com/2009/09/21/pengaruh-penerapan-corporate-social-responsibility-csr-terhadap-profitabilitas-perusahaan/(di akses pada hari sabtu 15-03-2014 pukul
11:10.a.m)
[3] Setiyono, 2009,
kejahatan korporasi analisis victimologis dan pertanggungjawaban korporasi
dalam hukum pidana indonesia, Bayumedia Publishing, malang, hal 43.
[4] http://m.kompasiana.com/post/read/594871/3( di akses pada hari Sabtu
15-03-2014 pukul 12:10 p.m)
[5]http://anya-afrie.blogspot.com/2008/09/pertanggungjawaban-korporasi-dalam.html(di akses pada
hari sabtu 15-03-2014 pukul 11:50 a.m)
[6] Prof. Dr.Muladi.S.H.,Prof.Dr.Dwidja Priyatno,S.H.,.M.H. 2013,PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI,
Jakarta ,KENCANA,halaman 102.
0 komentar:
Posting Komentar