Kamis, 08 Mei 2014

PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI TERKAIT PENIGGALAN AKTIFITAS PERUSAHAAN YANG MERUSAK LINGKUNGAN



PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI TERKAIT PENIGGALAN AKTIFITAS PERUSAHAAN YANG MERUSAK LINGKUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Korporasi dalam sekala besar memberkan arti yang besar bagi dunia. Mereka ada dimana saja, dan hampir di seluruh aspek kehidupan. Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”[1]
Tidak salah, apabila setiap perusahaan berjuang sekeras mungkin menjalankan roda bisnisnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.Termasuk dalam menghadapi dunia ekonomi yang sedang bermasalah seperti yang terjadi sekarang ini. Namun, indikator-indikator ekologi menunjukkan akibat kebijakan yang salah dari growth mania di kalangan pelaku bisnis, menyebabkan degradasi lingkungan yang luar biasa. Perlunya upaya pemeliharaan ekosistem yang menjadi pendukung kehidupan perusahaan harus ditanamkan sejak perusahaan itu berdiri  (Brown, Eco-Economy, 2000)[2]
Sesuai dengan hukum alam, pendapatan yang berasal dari pemanfaatan fasilitas akan berkelanjutan bila daya dukungan alam tersebut dipelihara. Jika daya dukung lingkungan tersebut rusak, pendapatan masyarakat sekitar akan menurun dan mereka akan menganggap perusahaan sebagai penyebabnya.
Pada mulanya orang tidak menerima pertanggung jawaban Korporasi dalam perkara pidana. Hal ini kareena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. Kemudian pidana penjara tidak mungkin di terapkan terhadap korporasi.
Namun, demikian karana adanya dampak negatif yang di timbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum,  yang mengakibatkan  kerusakan akibat aktifitas Korporasi yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitar baik yang di sengaja, kelalaian maupun kealfaan akibatnya merusak dan di tinggalkan begitu saja dan berdampak buruk bagi masyarakat sekitar yang akhirnya menajdikan pemikiran untuk mempertanggungjawabkan perkara korporasi dalam perkara pidana.
Karena itu akibatnya dapat terjadi terhadap lingkungan hidup seperti pencemaran dan pengerusakan di suatu wilayah.  akibat aktifitas yang di tinggalkan oleh korporasi. Yang berdambak buruk bagi sekitar, Dalam pandangan tindak pidana lingkungan hidup , di samping pidana denda, terhadap korporasi dapat dikenai pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan.
Esensi kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Yang pada dasarnya makna perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi: perencanaaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharan, pengawasan, dan penegakan hukum itu hilang. Karena penegakan hukum pidananya tidak diberlakukan, dan tidak memberi efek jera bagi pelaku badan usaha.
Pemahaman yang salah ini terhadap asas ultimum remedium, yang menjadi pangkal tolak kegagalan sanksi pidana, terutama pada tindak pidana korporasi, Tidak pernah ada tindak pidana korporasi sampai mendapat sanksi pidana oleh aparat penegak hukum. Hal itu dipahami bahwa penerapan asas ultimum remedium hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air kerusakan, dan ganggguan. Akibat bekas aktifitas korporasi  Hal-hal seperti inilah yang seharusnya dipahami oleh pengawas lingkungan hidup yakni Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan, polisi dan penegak hukum lainnya.
Dengan pertimbangan dampak lingkungan hidup yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat, perekonomian, pemerintahan daerah dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dalam penerapan sanksi pidana dan landasan dalam hukum untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.[3]

B.     Permasalahan

1.      Apakah Korporasi yang karena kelalaianya, kesengajaanya dan kealfaanya yang merusak lingkungan dapat dipertanggung jawabkan ?
2.        Apakah bisa sebagai kesalahan Korporasi?











BAB II
C.     PEMBAHASAN
          Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat, karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan.
          Akibatnya banyak Korporasi yang baik kelalaian, kealfaan maupun kesenganjaan tidak memikirkan dampak dari bekas aktifitas Korporasi, yang merusak lingkungan bahkan dapat menimbulkan korban. Maka dari itu bagai mana  tanggungjawab korporasi terhadap hal tersebut? Karena banyaknya dampak buruk yang ditimbulkan.
        Kesengajaan_dan_Kealpaan_pada_Korporasi_Apabila suatu badan hukum dituntut telah melakukan suatu tindak pidana baik yang dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan, pertanyaan akan timbul apakah dan bagaimanakah badan hukum/korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan (menselijke psyche), dan unsur-unsur Psychis (de pyshische bestanddelen), dapat memenuhi unsur kesengajaan atau “opzet” dan kealpaan?
       
Sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berbeda jika kesengajaan itu pada kenyataanya terletak dalam politik perusahaan, atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Dalam hubungan ini adanya suatu macam “suasana kejiwaan” (pyscheschklimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kita pada suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (koppelbazen B.V), yang ‘didirikan untuk melakukan kekacauan”. Oleh karena itu , dengan melihat kenyataan tesebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan_perusahaannya. Kejadian tersebut harus diselesaikan dengan konstruksi pertanggung jawaban, kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha, dimana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut.
          Seperti dalam kasus terjadinya kecelakaan di bekas sumur bekas pertambangan batubara,yang ditinggalkan begitu saja di Samarinda sehingga menimbulkan korban terus berjatuhan dan semua terulang lagi dan sudah 2 tahun sejak 2011 ada 6 bocah kecil meninggal bekas sumur bekas tambang batubara. Pertama pada Juli 2011 tiga bocah meninggal, lalu pada Desember 2012 tiga bocah meninggal lagi. Tapi tidak ada tanggapan pemerintah daerah, tidak ada tersangka, tidak ada yang kena hukum, mereka cuma berikan uang asuransi saja, seolah permasalahan bisa tuntas dengan materi,” jelas Kahar ketua Jatam Kaltim tanggal 5 Februari 2013 di Media. ini murni tidak pidana kelalian, dan merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana, dalam hal ini tindak pidana yang terjadi terkait bidang pertambangan, unsur kelalian dalam hal ini melakukan upaya kegiatan pascatambang. Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah pertambangan.
Pasal tentang tindak pidana kelalaian merujuk pada Pasal 359 KUHPidana: Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Pasal ini dijadikan dasar penuntukan terhadap kasus meninggal anak-anak di bekas lubang sumur pertambangan batubara. Karena kurang hati-hati dan kelaliaan dari beberapa pihak baik penguasa, pemerintah dan orangtua, telah menyebabkan kematian bagi anak-anak.
Harus dipahami dalam tindak pidana kelalaian KUHPidana tidak mengenal pertanggungjawab korporasi, kecuali terhadap perundang-undangan yang mengatur tersendiri tindak pidana korporasi. Dalam dalam kasus diatas, harus dilihat bahwa pertangggungjawaban korporasi pertambang. Untuk tindak pidana korporasi di bidang pertambangan sebagaimana yang dilakukan oleh suatu badan hukum, merujuk Pasal 163 UU Minerba, pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Juga dalam Pasal 164 UU Minerba, pidana denda bagi badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a) pencabutan izin usaha; dan/atau b) pencabutan status badan hukum. Hanya dijelaskan hukumannya, namun tindak pidana yang dilakukan tidak dijelaskan.
Begitu pula terhadap Perusakan lingkungan hidup hanya memperlakukan sanksi administrasi dan perdata yang berupa ganti rugi bagi masyarakat setempat, tidak masuk pada ranah terjadi kerusakan lingkungan hidup yang merubah bentang alam, mengganggu keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Untuk kasus terjadinya kecelakaan di bekas sumur bekas pertambangan batubara, ini murni tidak pidana kelalian, dan merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana, dalam hal ini tindak pidana yang terjadi terkait bidang pertambangan, unsur kelalian dalam hal ini melakukan upaya kegiatan pascatambang. Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah pertambangan.[4]
Konsep Pertanggungjawaban Pidana (criminal responsibility)
Pertanggungjawab pidana, terdapat aturan tentang penerapan doktrin strict liability dan vicarious liability. Menurut dokrtin strick liability (pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu, walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (meas rea). Strict liability diartikan liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Dalam hal lingkungan hidup, pertanggungjawaban korporasi ini diatur dalam Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang, badan hukum dan/atau pengurusnya. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa konseskuensi penerapan ketentuan tentang tentang tanggung jawb korporasi ini harus benar-benar dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam mengelola perusahaannya agar tidak melakkan perbuatan yang mengakibatkan pengusaha dikenakan pidana penjara, disamping perusahaannya dikenakan denda karena telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatannya itu (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkunga Hidup, 2004 : 60).
Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara : 
  1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
  2. melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik. 
  3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
  4. memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
  5. membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. 
  6. menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.
Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.
demikian direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup[5]
Selain itu juga tidak lepas dari kesalahan Dapat dicelakakan itu bukanlah inti dari pengertian kesalahan, melainkan akibat dari kesalahan. Sebab hubungan antara perbuatan dan pelakunya itu selalun mendapat dicela. Dalam hal tersebut, jelas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana. Yang menjadi permasalahanya ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila suatu korporasi dituntut untuk suatu tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga badan hukum tidak dapat dalam jiwa manusia (meselijke psyche) dan unsur-unsur pstcis (depsychische bestanddelen)  dapat dikatakan memiliki kesalahan.
Menurut Suprapto bahwa Korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukakanya. Yaitu, bisa didapat kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebagai suatu Kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapa di bebenkan kepada pengurusnya. (Suprapto)
Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada Korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak utuk korporasi itu, jika di kumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.(J.M. van Bemmelen.) 
Dengan demikian bahwa korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi bahwa kesalahan tersebut diambil dari para pengurus atau anggota direksi. Dengan Kontruksi yang demikian, maka penulis bahwa dalam hal ini asas “tiada pidana tanpa kesalahan”terus berlaku, sepanjang dilakukan oleh pengurus/(baca:orang); sehingga kalau suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh korporasi (pembuat fiktif) maka asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak berlaku.(A.Z. Abidin)
Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam masalah pertanggung jawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih tetap di pertahankan, tetapi dalam perkembanganya di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggung jawaban pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan’’ tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban di jadikan dasar untuk menuntut pertanggung jawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium “ res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.
Akan tetap bagaimanapun juga asas kesalahan merupakan asas yang funda mental, yaitu sebagai jaminan adanya hak asasi manusia yang harus di lindungi, sehingga perlu di pertanyakan samapai sejauh mana pandangan baru yang menyatakan asas kesalaahan tidak mutlak berlaku, apakah dapat menjamin hak asasi tersebut. [6]











BAB III
D.  KESIMPULAN

Dalam kegiatan korporasi harus melihat dari aspek kesengajaan atau kelalaian bahkan kealfaan apakah yang dilakukan oleh korporasi, Harus dipahami dalam tindak pidana kelalaian KUHPidana tidak mengenal pertanggungjawab korporasi, kecuali terhadap perundang-undangan yang mengatur tersendiri tindak pidana korporasi.
Pertangggungjawaban korporasi pertambang. Untuk tindak pidana korporasi di bidang pertambangan sebagaimana yang dilakukan oleh suatu badan hukum, merujuk Pasal 163 UU Minerba, pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Juga dalam Pasal 164 UU Minerba, pidana denda bagi badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a) pencabutan izin usaha; dan/atau b) pencabutan status badan hukum. Hanya dijelaskan hukumannya, namun tindak pidana yang dilakukan tidak dijelaskan .
bahwa dalam masalah pertanggung jawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih tetap di pertahankan, tetapi dalam perkembanganya di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggung jawaban pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan’’ tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban di jadikan dasar untuk menuntut pertanggung jawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium “ res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.
Akan tetap bagaimanapun juga asas kesalahan merupakan asas yang funda mental, yaitu sebagai jaminan adanya hak asasi manusia yang harus di lindungi, sehingga perlu di pertanyakan samapai sejauh mana pandangan baru yang menyatakan asas kesalaahan tidak mutlak berlaku, apakah dapat menjamin hak asasi tersebut.





















DATAR PUSTAKA
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggung Jawaban Korporasi, KENCANA,          
  Jakarta.
Setiyono. 2009 kejahatan korporasi analisis victimologis dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana indonesia, Malang. Bayumedia Publishing.

Anya, Pertanggung Jawaban Korporasi,09 maret 2008
Bismar, Kejahatan Korporasi, 23 Desember 2009.
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/ (Diakses pada hari sabtu 15-03-2014 10:39.a.m)
Kompassiana, Pertanggung Jawaban Pidana Penyebab Wafatnya  6 Anak di bekas Tanbang Batu Bara. 3 Juli 2011
http://m.kompasiana.com/post/read/594871/3( di akses pada hari Sabtu 15-03-2014 pukul 12:10 p.m)
Sutopoyudo, Pengaruh Penerapan Corporate Social responsibility Csr Terhadap Profitabilitas perusahaan, 21 September 2009


[1] http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/ (Diakses pada hari sabtu 15-03-2014 10:39.a.m)
[3] Setiyono, 2009, kejahatan korporasi analisis victimologis dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana indonesia, Bayumedia Publishing, malang, hal 43.
[4] http://m.kompasiana.com/post/read/594871/3( di akses pada hari Sabtu 15-03-2014 pukul 12:10 p.m)
[6] Prof. Dr.Muladi.S.H.,Prof.Dr.Dwidja Priyatno,S.H.,.M.H. 2013,PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI, Jakarta ,KENCANA,halaman 102.

0 komentar:

Posting Komentar